Sebuah polisi tidur menuju Mushalla Umar Bin Khattab di Kawasan JImbaran menjelang ashar nampak berbeda, sebuah polisi tidur itu nampak tergores dengan beberapa goresan. Kalau mau jujur isi goresan itu mengandung sesuatu yang semestinya tidak terpampang di muka khalayak walaupun itu mungkin yang dirasa si empunya goresan.
"Dibikin orang Jawa", begitu kalimat itu terpahat dalam polisi tidur yang membentang di jalan kecil menuju mushalla. Suatu ketika saat bom baru saja meledak, polisi adat ala bali yang dikenal dengan pecalang mengadakan razia terhadap para pedagang keliling. Kembali miris rasanya hati ini, "Kamu Jangan ngebom ya!"bentaknya. KIsah yang hampir sama juga pasca bom, hampir pada sepanjang jalan yang biasanya saya dengan mudah temukan warung sari laut khas lamongan, namun kini semua berubah.
Semua warung sari laut itu berganti menjadi "warung sari laut surabaya" atau warung sari laut saja. What happen to Lamongan?. Jelas buat sebagian kalangan di Bali, kata lamongan bakal mengingatkan pada Am rozi, smiling bomber van lamongan.
TAdinya saya pikir itu strategi bisnis semata, namun setelah saya mencoba bertanya pada para pedagang itu hampir semua menjawab seragam : "Takut di cap teroris".
Saya mulai mengingat lagi lembaran sejarah bangsa ini, memang bangsa kita yang heterogen ini punya bakat-bakat perpecahan alias disintegrasi. Tengoklah potret ini: Di JAwa barat, hampir tidak ada jalan yang bernama Gajah Mada, khususnya di Bandung, kiblat budaya sunda. Hal yang sama juga saya dapati di Mojokerto, dimana seorang kawan saya pernah dilarang masuk Unpad oleh orang tuanya lantaran alasan :itu bukan tempat kita.
JIka mengingat masa silam, memang antara sunda dan Jawa punya hubungan masa lalu yang suram. Apalagi kalau bukan Perang Bubat, perang kontroversial yang sampai hari ini tak ada satu sumber pun yang dianggap valid.
Orang sunda bahkan hampir selamanya akan menganggap orang jawa itu pengecut, penipu dan tamak. Lantaran dianggap berusaha menaklukan kerajaan sunda dengan cara yang tak ksatria, menyerang rombongan pengantin Dyah PItaloka. Karenanya jika ada kenalan anda yang memegang tradisi sunda tulen, tanyakan padanya akan "Esti larangan ti Kaluaran". Sebuah karma sejarah lantaran politik masa lalu yang tak berujung pangkal.
Bagi orang Jawa, bubat memang tak begitu berdampak besar, setidaknya generasi sekarang sudah banyak yang melupakannya. Namun tetap saja, bagi sebagian orang di Mojokerto yang konon merupakan tempat dimana Majapahit berdiri, berkeluarga dengan orang sunda adalah sebuah pantangan.
Nah, itu baru konflik dua suku besar. belum lagi konflik-konflik lainnya yang bernuansa etnis dan kadang agama. Seolah bangsa kita ini sudah tak lagi sadar merah putih. tak lagi sadar bahwa mereka satu.
Karena memang bhineka tunggal ika itu cuma slogan, yang bahkan tak satupun pemerintahan yang pernah berdiri di republik ini mampu menerapkannya dengan baik. Jadilah kita terpecah-pecah, setidaknya dalam perasaan.
Inilah yang saya sebut separatisme emosional, dimana secara emosional disintegrasi itu justru ada dan jauh lebih berbahaya.Ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam hal yang sangat sempit dan kecil sekalipun. IA justru menjadi ancaman, karena dipendam.
Sesuatu yang dipendam biasanya jika mencapai kulminasi akan meledak dengan sontak. Lihat potret kalimantan yang tercabik. Itulah potret kecil pendaman amarah yang bernama separatisme emosional.
Parahnya lagi, sebuah hukum tak tertulis yang dipaksakan dianggap tak terbantahkan di dalam tata negara kita.PRESIDEN ORANG JAWA DAN WAPRES LUAR JAWA. Sebuah adagium yang sok historis. Karena menganggap dwi tunggal pertama yakni Soekarno Hatta adalah pakem dalam tampuk kekuasaan.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap, ada orang seperti Natsir yang dengan mosi integralnya mampu menyatukan Indonesia, namun lebih dari itu menyatukan perasaan bangsa Indonesia. karena separatisme emosional lebih berbahaya dari separatisme teritorial.
Sabtu, 30 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar