INDUSTRI penerbangan di negeri kita tak ubahnya industri pencetak maut. Belum reda tangis keluarga korban Adam Air Flight KI 574, sekarang pesawat Garuda Indonesia yang notabene flag carrier -- yang standar perawatannya termasuk terbaik di Indonesia -- juga celaka. Sebegitu suramkah dunia dirgantara kita? Atau memang segalanya adalah takdir yang tak bisa kita tolak?
-----------------------
Banyak faktor yang mempengaruhi banyaknya kecelakaan yang terjadi. Setidaknya maintenance yang buruk, skill airman atau awak udara yang kurang dan juga maraknya low cost carrier.
Maintennance pesawat di negeri ini seolah merupakan sesuatu yang jadi rahasia umum; bahwa perawatan pesawat kita rendah. Contoh saja pesawat yang biasanya diperiksa kelaikannya dalam waktu tertentu, banyak yang tidak memiliki kelaikan untuk terbang.
Pesawat adalah moda transportasi yang tidak bisa dipelihara tanpa aturan. Ada aturan A Check, B Check dan juga C Check, bahkan overhaul.
Jika mematuhi aturan maintenance yang ada, sebenarnya kecelakaan pesawat -- karena buruknya maintenance -- bisa dibilang hanya faktor takdir. Karena maintenance pesawat adalah hal yang paling utama dalam menentukan kelaikan terbang pesawat. Ibaratnya, maintenance adalah dewa penentu laik atau tidaknya pesawat terbang. Pertanyaannya adalah, apakah para teknisi yang berperan dalam maintenance sudah cukup jujur? Apakah mereka berani berkata bahwa pesawat ini tidak layak untuk terbang? Kadang faktor kejujuran itu tereduksi oleh tuntutan perusahaan yang menghidupi mereka. Sering para teknisi "dipaksa" (baca: terpaksa) untuk membenar-salahkan kebenaran dan menyalah-benarkan kesalahan. Mereka dipaksa menyatakan laik pesawat yang sebenarnya tidak laik.
Secara manusiawi, hal ini sangat tidak bisa diterima. Pemaksaan untuk menyatakan suatu pesawat yang tak laik terbang, menjadi pesawat yang laik terbang tentu akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri teknisi. Hanya, mungkin karena terlalu seringnya terpaksa dan saking terbiasanya, akhirnya rasa bersalah yang semestinya muncul sebagai akibat perasaan nurani, tidak muncul. Awal kesalahan seorang airman adalah ketika ia tidak mempu bersikap kesatria, begitu doktrin yang biasanya diajarkan pada para angkasawan.
Rendahnya ''Airmanship''
Sadar atau tidak, pendidikan yang diterima saat sekolah atau saat mengikuti pelatihan sangatlah penting bagi orang yang berkecimpung di dunia penerbangan. Faktor ini kiranya yang juga bisa memicu meningkatnya jumlah kecelakaan di negeri kita. Kemampuan para airman kita sebenarnya tidak kalah dengan orang asing. Hanya, karena di negara kita fasilitas training yang tidak memadai, mengakibatkan kemampuan airman kita menjadi rendah.
Pilot, misalnya, harus menjalani tes kemampuan dalam simulator setidaknya setahun dua kali untuk kapten dan setahun sekali untuk ko-pilotnya. Hal ini jarang mendapatkan perhatian. Alasannya hampir selalu sama, biayanya mahal. Hal ini jelas mengakibatkan perusahaan yang mempekerjakannya perlu biaya untuk memelihara kemampuan pilot, tentu jika ditilik secara ekonomi, hal ini jelas merugikan. Namun jika kita tinjau dari prosedur dalam dunia penerbangan, pilot memang wajib "difasilitasi" untuk mendapatkan training guna meningkatkan skill-nya. Mahalnya biaya, mungkin juga karena tak ada fasilitas simulator di dalam negeri sehingga pilot harus pergi ke Malaysia atau Tiongkok untuk meng-upgrade kemampuannya.
Sebenarnya visi peningkatan airmanship bukan semata tugas pilot atau teknisi namun juga perusahaannya. Karena airmanship mencakup seluruh aspek orang yang bekerja dalam suatu rangkaian proses dunia penerbangan. Sehingga satu faktor saja yang tidak mendukung maka rangkaian sistem peningkatan airmanship akan gagal. Perusahaan perlu kualitas yang bagus dari awak pesawat, begitu juga awak pesawat perlu suasana kerja yang mendukung, dan kesejahteraan yang laik agar mereka bisa bertugas dengan baik.
Tingginya permintaan akan angkutan udara yang dijawab dengan bermunculannya low cost carrier, secara tidak langsung juga menjadi faktor meningkatnya kecelakaan pesawat. Sudah bukan rahasia lagi, kalau low cost bagi airline bertarif murah di negeri ini berarti "menekan biaya serendah-rendahnya". Hal yang berdampak pada maintenance dan airmanship. Biaya-biaya mengenai safety, yang terkenal mahal "diefisiensi" sehingga menjadi sangat rendah (untuk tidak menyebut zero). Hal ini mengakibatkan pesawat tidak memiliki fasilitas keselamatan yang semestinya.
Frekuensi penerbangan yang tinggi, juga memaksa jam kerja awak pesawat melonjak tajam. Pilot yang semestinya sehari hanya terbang selama maksimal sembilan jam, bisa terbang sampai beberapa belas jam. Padahal itu sangat berbahaya bagi penerbangan. Karena faktor fatigue adalah salah satu hal yang menurunkan skill dari seorang penerbang.
''Zero Accident''
Zero accident atau meminimalisasi insiden yang bisa mengakibatkan aksiden, sering dikampanyekan dalam dunia penerbangan. Zero accident sendiri adalah usaha meminimalisasi kecelakaan. Hal ini dimulai dari maintenance yang baik, iklim kerja yang kondusif dan kemampuan awak yang terpelihara dengan baik. TNI-AU pada era kepemimpinan Marsekal Chappy Hakim pernah mengkampanyekan zero accident secara besar-besaran. Hasilnya, angka kecelakaan di lingkungan TNI-AU kala itu menurun. Hanya, mampukah zero accident diterapkan dalam penerbangan sipil? Tentu perlu kesadaran dari semua pihak untuk menyukseskan program ini.
Setidaknya pemerintah selaku regulator perlu membuat suatu kebijakan guna menerapkan kebijakan zero accident. Karena ketidaktegasan pemerintah selama ini dalam mengambil kebijakan mengakibatkan ketidakadilan di dunia penerbangan. Seorang pilot maskapai swasta pernah berujar, "Keputusan apa pun yang dikeluarkan, kan itu cuma berlaku buat Garuda dan Merpati." Tentu hal ini adalah joke yang sangat menohok. Memang, parameter kita selalu ada pada maskapai-maskapai pelat merah macam Garuda dan Merpati. Tetapi ketika mereka juga ternyata bermasalah, ke mana lagi kita berkaca?
Singapore Airlines, maskapai flag carrier negeri tetangga, terakhir kali mengalami kecelakaan pada 1972. Itu tercatat sebagai kecelakaan pertama bagi launch customer Airbus A-380 ini. Sampai hari ini, belum ada lagi berita Singapore Airlines mengalami kecelakaan. Kontras dengan negeri kita yang kecelakaan pesawat hanya berselang minggu. Seolah setiap bulan memang "wajib" ada kecelakaan pesawat di negeri kita. Jika tak ada perubahan dalam dunia penerbangan kita, zero accident sepertinya hanya menjadi cita-cita besar dunia penerbangan Indonesia.
Penulis, peminat penerbangan, mantan Ketua Saka Dirgantara Bali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar