“Aku mencintaimu karena alloh” begitu isi sms yang masuk ke handphone seorang gadis yang aktif di sebuah lembaga keagamaan. Pengirimnya sahabat saya sendiri yang juga sama-sama aktif di lembaga itu. Saya sendiri tahu sms itu karena difordward oleh si gadis kepada saya sambil ditambahi kata-kata” bilang sama dia saya tidak suka hal seperti ini”. Sebagai orang yang awam dan kurang ngeh dengan agama saya jadi bingung sendiri. Orang-orang yang “ngeh” saja masih suka hal-hal dunia, apalagi saya. Tentu kalau saya mungkin karena awam, saya Cuma akan bilang aku mencintaimu, titik, tanpa ada embel-embel Tuhan yang diseret-seret.
Memang aneh menyimak pergaulan anak-anak masjid atau anak rohis atau anak-anak yang berafiliasi dalam lembaga yang berbau agama. Mereka selalu menyitir ayat, hadis atau apapun itu kadang untuk kepentingan yang tidak semestinya. Hal diatas adalah kasusnya. Betapa banyak orang yang nampaknya “gak suka dunia” ternyata punya kelakuan justru lebih cinta dunia dibanding dengan mereka yang selama ini dicap cinta dunia.
Sebagai awam, sekali lagi sebagai orang yang tidak berafiliasi dalam organisasi yang berbau agama, saya jadi heran terhadap tingkah sebagian kalangan ini. Ayat 32 Surat Al Isra padahal sudah jelas, dan pastinya menurut saya kita punya tafsir yang seragam dalam urusan itu; zina itu menjijikkan. Bahkan mendekatinya saja sudah dilarang. Anehnya, mereka yang selama ini saya anggap lebih faham agama dibanding saya yang tidak berafiliasi kemanapun, ternyata justru lebih parah.
Memang akan ada pendapat itu kan hanya oknumnya saja, bukan organisasinya. Namun izinkan saya bertanya, dimanakah letak pemahaman doktrin organisasi yang mengatasnamakan islam? Bukankah organisasi yang mengatasnamakan islam maka ia juga mesti memahami doktrin bahwa islam adalah sempurna, sebagaimana dalam Al MAidah ayat 3 Alloh berfirman bahwa telah kusempurnakan agamamu. Maka tentu adalah keterpelsetan pemikiran kalau organisasi yang berlabel islam justru tidak islami.
Islami yang saya maksudkan juga bukan terjebak pada simbolisasi tertentu. Seolah jika kita menggunakan symbol seperti kerudung, baju koko atau kopiah maka itu adalah bisa dibilang islami. Secara tampilan, mungkin hal itu bisa dikatakan islami versi Indonesia, namun suasana atau islami yang lebih penting sebenarnya adalah islami secara pemikiran, hanif dalam perbuatan dan akhirnya maka ia akan menjalankan semuanya sesuai dngan rule of islam dalam segala spek hidupnya
Semestinya organisasi yang melabelisasi diri dengan agama, mampu memanifestasikan itu dalam pikiran. Dalam hal ini adalah doktrin yang didoktrinkan pada para anggota atau kadernya. Karena sungguh masygul mendengar seorang aktivis sebuah organisasi yang melabeli diri dengan islam, kedapatan mencuri di sebuah toko buku. Sedih rasanya, seolah organisasi yang digelutinya tidak mampu mewarnai sikap hidup anggotanya.
Kembali pada kisah kawan yang saya ceritakan diatas, saya melihat in facts tak ada sorang pun yang mampu lepas dari perasaan suka pada lawan jenis. Hal itu adalah suatu kodrat dan wajar. Yang menjadi tidak wajar adalah manakala kita tahu rule atau aturan namun kita justru melabraknya baik dengan halus maupun kasar. Pada organisasi islam semestinya sistem islam itu dijaga dengan baik. Karena parametrnya tentu adalah organisasi itu.
Islam, adalah agama yang syumul, syamil mutakammil, alias sempurna. Tentu urusan cinta juga ada salurannya. Dengan cara yang hanif, santun dan menjaga martabat. Sehingga jika sudah menerapkannya maka saya yakin, kisah bunuh diri karena di putus pacar tidak akan ada lagi. Namun ternyata justru sistem impian itu masih jauh diatas langit.
Karena justru kemuliaan islam dirusak oleh sekelompok orang yang melabeli diri dengan islam namun justru menrapkan cara yang sama sekali tidak dibolehkan. Setahu saya, berpegangan tangan dua orang berlainan jenis yang bukan muhrim atau bukan suami istri atau hubungan lain yang memungkinkan itu adalah dilarang. Namun sbuah kenyataan tersaji di depan saya pada suatu waktu saat saya melihat sahabat saya, aktivis sebuah ormas islam justru membonceng kekasihnya yang juga memiliki afiliasi yang sama pada ormas tersbut.
Dalam hati saya berpikir, ini namanya justru saling menjerumuskan satu sama lain. Seolah diantara dua orang -yang tadinya saya hormati karena pemahaman agamanya- tak ada yang ingat hadits Rasululloh SAW yang mengatakan bahwa lebih baik ditusuk dengan besi menyala dari ujung kaki sampai kepala dibanding dengan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram. Akhirnya saya justru berpikir sedikit manusiawi; yah mereka juga manusia, tempat salah dan lupa.
Memang awam-seperti saya ini- terlanjur mencap mereka yang berafiliasi dengan organisasi keislaman adalah sekumpulan orang-orang soleh yang kalau bergaul dengan mereka kita serasa melihat surga dan jika jauh seakan melihat neraka. Karenanya ekspektasi itu mungkin juga salah, karena yang kita cap itu juga manusia biasa.
Namun apapun itu, tentu sangat tidak dibenarkan kalau aktivis islam justru mendistorsi nilai-nilai islam yang ada khususnya dalam pergaulan dengan lawan jenis. Karena disadari atau tidak, khalayak biasanya menganggap potret islam itu adalah kehidupan aktivis islam itu. Akhirnya haruskah potret islam yang ada pada para aktivis itu harus ternoda?terkontaminasi virus bernama merah jambu? Virus merah jambu itu menjangkiti siapapun kapanpun dimanapun, dan aktivis islam pun tak lepas dari hal itu. Virus yang manusiawi namun jika salah saluran justru ia akan menghancurkan mimpi kemanusiaan itu sendiri. Hanya waktu yang akan menjawab.
Gus Wim, orang biasa bukan santri
Gus Wim, orang biasa bukan santri

Tidak ada komentar:
Posting Komentar