Kamis, 30 Oktober 2008
NASIONALISME; KEBANGSAAN DAN KEBENARAN
Kisah ramayana yang masyhur, mungkin sudah berulang kali dibahas, berulang kali dikaji dan semuanya punya perspektif masing-masing. Namun ada satu fragmen menarik dari penggalan kisah ini. Fragmen itu adalah fragmen dialog antara Wibisana dan Kumbakarna, sang Kakak saat sebelum dan sesudah pertempuran Sang Rama dan Kumbakarna.
“Aku tidak membela rahwana, namun yang kubela adalah alengka, tanah air kita”begitu lirih Kumbakarna pada sang adik, Wibisana. Musababnya jelas: Wibisana memihak Rama yang diyakininya sebagai kebenaran dan Kumbakarna memilih memerangi Rama, yang menyerang Alengka tanah airnya.
Wiracarita ramayana sendiri, merupakan kisah pertarungan rama melawan Rahwana yang menculik Sita, istri rama. Kisah ini sendiri walaupun mengetengahkan pertarungan Rama dan Rahwana, namun banyak fragmen yang justru punya nilai doktriner yang lebih dalam. Salah satunya adalah fragmen itu tadi, dialog Wibisana dan Kumbakarna.
Wibisana adalah salah satu adik Rahwana raja Alengka. Wibisana adalah saudara rahwana yang paling cerdas dan bijaksana. Selain Wibisana, Rahwana juga mempunyai adik lainnya yakni Kumbakarna dan Surpanaka. Kalau ketiga saudaranya berwujud raksasa, wibisana berwujud manusia. Karena kebijaksanaan dan keluasan ilmunya lah Rahwana mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan. Dalam wiracarita dikisahkan bagaimana Wibisana menasehati kakaknya yang sedang tergila-gila pada Sita atau Sinta, istri rama. Rahwana menampiknya, Ia tetap berupaya mendapatkan Sinta, akhirnya Sinta pun diculik.
Penculikan ini tentu membuat rama marah. Hanoman pun diutus untuk memata-matai Alengka. Sinta ternyata ditempatkan di istana milik Wibisana ditemani Trijata, putri kesayangan Wibisana. Hanoman pun menyampaikan pesan dari rama kalau Sinta akan segera dibebaskan. Wibisana lagi-lagi menasehati rahwana untuk mengembalikan Sinta pada Rama. Rahwana menolak, Wibisana pun memilih menyeberang ke pihak Rama.
Saudara Wibisana yang lain, Kumbakarna yang juga kecewa pada Rahwana memilih untuk tidur. Sedang Surpanaka tentu memilih bersama Sang Rahwana, menyerang Rama. Alkisah pertempuran terjadi. Setelah satu persatu Ksatria Alengka bertumbangan oleh pasukan Rama, Rahwana pun membangunkan Kumbakarna. Kumbakarna pun menolak membela rahwana. Karena ia tahu rahwana memang salah. Namun kumbakarna juga tak mau tanah airnya diserang Rama.
Antara Tanah Air dan Kebenaran
Kumbakarna pun maju bertempur, bukan demi Rahwana, namun demi Alengka tanah airnya. Sebuah potret nasionalisme yang heroik. Nasionalisme kumbakarna, adalah nasionalisme yang umum kita temui saat ini. Nasionalisme teritorialis yang menyekat pengertian “nasionalisme” sebagai semangat kebangsaan pada sekat-sekat wilayah. Sehingga doktrin bahwa right or wrong is my country tumbuh subur. Nasionalisme model ini, pada tataran ekstrim akan berubah menjadi chauvinistis, spirit membanggakan negeri sendiri. Tidak salah memang, namun tidak selamanya tepat.
Wibisana, yang memilih membela Rama.,merupakan potret nasionalisme universal. Nasionalisme yang dipatri lantaran kebenaran. Universalitas nasionalisme inilah yang sebenarnya punya makna yang dalam di dunia saat ini. Dimana dalam pergaulan internasional sekat kenegaraan menjadi bias dan cenderung dikesampingkan. Nasionalisme versi wibisana adalah cakupan nasionalisme yang lebih luas. Nasionalisme Wibisana bukan nasionalisme yang ditafsirkan sebagai semata-mata semangat kebangsaan, namun nasionalisme juga ditafsirkan sebagai semangat kebenaran.
Semangat kebenaran tentu jauh lebih bermakna dibanding semangat kebangsaan dalam arti sempit. Semangat kebangsaan dalam arti sempit yang cenderung mengarah jadi chauvinisme sangat berbahaya dalam percaturan internasional. Lihat bagaimana Jerman dengan doktrin Uber Allesnya. Ia memang mampu menguasai eropa pada perang dunia II, namun itu tidak lama. Dalam waktu singkat saat Hitler, sang rahwana, tumbang. Imperium Jerman pun bubar. Spirit nasionalisme yang dibangun semata diatas dasar kebangsaan pun lenyap sudah.
Seorang pemikir islam kontemporer, yang di Mesir dianggap sebagai tokoh yang berbahaya, Hasan Al Banna. Punya pemikiran nasionalisme yang juga universal. Hasan Al banna mengajukan premis universalitas nasionalisme yang didasari pada keislaman. Salah satu bukti nyata perjuangan AL Banna salah satunya adalah kemerdekaan negeri ini, Indonesia.
Al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya saat itu membentuk suatu komite untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Fragmen sejarah yang boleh jadi dilupakan oleh banyak rakyat Indonesia. Terbukti perjuangan itu sukses, pengakuan demi pengakuan mengalir dari dunia internasional.Posisi Indonesia pun makin kuat, bukan cuma lantaran Soekarno dan pejuang lain mati-matian berusaha, namun ada peran besar seorang pemikir bernama Al Banna disana.
Sayangnya, orang-orang seperti Wibisana yang ada dalam kisah ramayana, atau hasan al Banna yang sampai hari ini legendaris karena pemikirannya, makin sulit dicari di dunia sekarang ini. Dunia sekarang sedang perlu sebuah tafsir baru nasionalisme. Tafsir baru itu tentu akan mengakomodir pola hubungan antar bangsa yang dilandasi nilai kebenaran. Bukan semata nilai kebangsaan yang berkembang sekarang.
Nilai kebangsaan, acap kali berbuah menjadi penyulut perang antar negara. Tak kurang atas nama patriotisme, nasionalisme diartikan sebagai hak untuk menyerang bangsa lain yang dianggap melecehkan bangsanya. Penafsiran nasionalisme juga lebih sering diartikan sebagai hak untuk memajukan negeri sendiri tanpa peduli kepedihan dan krisis bangsa lainnya.Tafsir yang justru merubah dan merendahkan derajat nasionalisme menadi tidak humanistis.
Sudah semestinya nasionalisme tak lagi diartikan sebagai semangat kebangsaan. Namun mengacu pada fragmen kisah Wibisana dari Alengka dan ajaran Nasionalisme Hasan Al Banna. Nasionalisme harus diartikan sebagai sebuah semangat kebenaran.
Kang Wiman
Minggu, 19 Oktober 2008
KARENA SEMUA ADALAH MASA DEPAN
Satu ketika kawan saya, aktivis sebuah partai islam yang sedang naik daun berkata pada saya “Kami adalah masa depan” tuturnya. Kami disini jelas maksudnya adalah, partainya. Memang partai kawan saya ini sedang getol-getolnya berusaha memenangi pemilihan umum 2009. Sebagai kawan saya mengamini saja. Toh, urusan partainya menang atau tidak itu murni urusan dia meyakinkan konstituen, kalau meyakinkan saya:dia rugi. Karena saya sudah kadung apatis pada pemilu 2009.
Kawan saya yang aktif menjadi pengurus partai nasionalis yang dipimpin seorang Nyonya yang kharismatik punya premis beda. “Indonesia dibangun karena nasionalisme, dan kamilah kaum nasionalis itu” begitu kalimat kawan saya pada saya. Saya juga mengamini saja, karena toh juga saya memang paham sejarah bahwa setidaknya mereka memang pernah mewarnai negeri ini, dengan jargonisme “Wong Cilik”.
Kalau saya pikir-pikir, saya punya banyak sekali kawan yang kini aktif di berbagai partai. Ada yang di partai besar macam Demokrat,PKS, PDIP,Golkar, PKB bahkan di partai baru macam Hanura dan gerindra. Mereka semua punya cara masing-masing dalam meyakinkan saya, kawannya. Untuk sekedar memberi tanda pada logo partai mereka nanti, 9 April 2009. Setelah itu? Saya tidak tahu bagaimana. Karena konon biasanya politisi itu janjinya hanya manis sebelum pemilu dan berakhir pahit saat ia sudah duduk.
Partai politik, memang merupakan lahan strategis baru yang muncul sejak era reformasi bergulir. Partai politik adalah sebuah sarana mobilitas vertikal yang relatif cepat dan menguntungkan walaupun untuk itu biasanya banyak hal yang irasional yang mesti dilakukan. Tak heran gelombang OKB(orang kaya baru) atau OMB (orang miskin baru) mulai muncul sejak keran demokrasi itu dibuka.
Sejak reformasi, partai politik tumbuh luar biasa pesatnya. Tumbuhnya banyak partai ini juga mengakibatkan rakyat makin bingung. Bingung karena pada satu sisi nama partai tidak jauh berbeda, dan bingung karena pada sisi lain proyek partai pun kurang lebih sama. Jadilah istilah seperti yang digunakan kawan-kawan saya yang kini jadi aktivis parpol itu seperti “Kamilah masa depan” atau kami adalah perubahan dan sebangsanya, jadi lazim terdengar.
Pikiran saya; mengkonstruksi masa depan tentu adalah proyek besar bangsa indonesia, bukan proyek besar partai tertentu. Karena jelas, Indonesia adalah negara dimana yang hidup disini sangat heterogen. Heterogenitas Indonesia salah satu wujudnya adalah banyaknya partai politik itu tadi. Kalau memang jiwa bangsa kita punya jiwa yang integratif, mestinya partai Cuma ada beberapa, atau malah partai tunggal macam di negeri komunis.
Partai tunggal yang saya maksud disini tentu tidak sekedar mengcopy paste sistem komunis. Namun sebagai sebuah implementasi berbeda tapi satu. Gagasan partai tunggal sebenarnya hampir terwujud, dulu ketika fusi partai di era orde baru diberlakukan.hanya saja pemerintah waktu itu mungkin masih pikir-pikir. Karena waktu itu ada tiga kekuatan besar yang sampai hari ini masih terus bergulat di panggung politik kita. Islam, nasionalis, dan sebelum ditumpas, komunis. Setelah komunis dibasmi, maka hanya tinggal dua kekuatan yang ada nasionalis dan islam. Tentu amat riskan menjadikan duel vis a vis antara keduanya. Muncullah Golongan Karya, sebuah partai yang konon bukan partai tapi golongan.
Era orde baru secara jujur mesti kita akui sebagai orde yang paling menjanjikan kalau bicara masa depan. Paling tidak, masa depan itu diprogram dengan program sakti “Pembangunan Lima Tahun” sebagai sebuah fragmen narasi besar kepemimpinan Bapak kita daripada soeharto, Pembangunan. Tak kurang visi dan misi sudah disusun dengan sangat cermat, dari era agraris, industrialisasi sampai era tinggal landas, sebuah era dimana bangsa kita diprogram sudah mampu bersaing dengan bangsa lain. Orde baru bubar, impian pun buyar.
Praktis sejak reformasi bangsa kita ini tidak punya mimpi yang realistis dan cenderung dicapai secara sistematis. Lihat saja pemerintahan yang jatuh bangun dan silih berganti nyaris tak punya mimpi besar yang bisa ditawarkan. Soekarno menawari kita revolusi, soeharto menawari kita pembangunan. Namun para penggantinya nyaris tak punya narasi kepemimpinan dan impian yang bisa ditanamkan dalam benak rakyat. Partai yang muncul sekarang pun mulai coba menawarkan mimpi, namun nyaris semua:KHAYALAN.
Kenapa khayalan?karena mimpi dalam narasi yang mereka buat hanya narasi untuk mereka sendiri, bukan narasi yang compatible dengan kondisi rakyat.bahkan antar partai pun, narasi masa depan mereka justru malah berpotensi disintegraif. Anda bayangkan saja partai di Indonesia umumnya punya ideologi yang berbeda. Dan jualan mereka dari masa kemasa selalu perbenturan ideologi. Nasionalis yang dipersepsikan sekuler selalu terdikotomi dengan kalangan islam yang selalu dicurigai ingin mendirikan negara islam. Sungguh perdebatan dan pertentangan sia-sia karena sampai hari ini, saat bangsa kita sudah lebih dari separuh abad merdeka, perdebatan ini belum lagi usai. Hasilnya bangsa kita justru makin terpuruk, Cuma lantaran soalan curiga dan prasangka
Pemilu 2009 akan segera tiba, semua partai yang jumlahnya tidak pasti karena setiap partai yang dicoret KPU selalu menang di PTUN, mereka semua juga bangsa Indonesia-yang punya hak ikut pesta. Pesta demokrasi itu akan dimulai. Narasi masa depan dan masa lalu kita juga akan ditulis ulang. Pastinya oleh partai yang menang. Kawanku..........baik yang PDIP,PKS,Golkar atau apapun warna jaket dan ideologi kalian...... Bangsa ini milik kita semua, maka narasi besar adalah tanggungjawab kita semua.Jangan karena anda berkuasa lantas anda merasa berhak memaksakan narasi yang anda buat.
Yang benar itu masih banyak dan yang banyak belum tentu benar.............
Kawan saya yang aktif menjadi pengurus partai nasionalis yang dipimpin seorang Nyonya yang kharismatik punya premis beda. “Indonesia dibangun karena nasionalisme, dan kamilah kaum nasionalis itu” begitu kalimat kawan saya pada saya. Saya juga mengamini saja, karena toh juga saya memang paham sejarah bahwa setidaknya mereka memang pernah mewarnai negeri ini, dengan jargonisme “Wong Cilik”.
Kalau saya pikir-pikir, saya punya banyak sekali kawan yang kini aktif di berbagai partai. Ada yang di partai besar macam Demokrat,PKS, PDIP,Golkar, PKB bahkan di partai baru macam Hanura dan gerindra. Mereka semua punya cara masing-masing dalam meyakinkan saya, kawannya. Untuk sekedar memberi tanda pada logo partai mereka nanti, 9 April 2009. Setelah itu? Saya tidak tahu bagaimana. Karena konon biasanya politisi itu janjinya hanya manis sebelum pemilu dan berakhir pahit saat ia sudah duduk.
Partai politik, memang merupakan lahan strategis baru yang muncul sejak era reformasi bergulir. Partai politik adalah sebuah sarana mobilitas vertikal yang relatif cepat dan menguntungkan walaupun untuk itu biasanya banyak hal yang irasional yang mesti dilakukan. Tak heran gelombang OKB(orang kaya baru) atau OMB (orang miskin baru) mulai muncul sejak keran demokrasi itu dibuka.
Sejak reformasi, partai politik tumbuh luar biasa pesatnya. Tumbuhnya banyak partai ini juga mengakibatkan rakyat makin bingung. Bingung karena pada satu sisi nama partai tidak jauh berbeda, dan bingung karena pada sisi lain proyek partai pun kurang lebih sama. Jadilah istilah seperti yang digunakan kawan-kawan saya yang kini jadi aktivis parpol itu seperti “Kamilah masa depan” atau kami adalah perubahan dan sebangsanya, jadi lazim terdengar.
Pikiran saya; mengkonstruksi masa depan tentu adalah proyek besar bangsa indonesia, bukan proyek besar partai tertentu. Karena jelas, Indonesia adalah negara dimana yang hidup disini sangat heterogen. Heterogenitas Indonesia salah satu wujudnya adalah banyaknya partai politik itu tadi. Kalau memang jiwa bangsa kita punya jiwa yang integratif, mestinya partai Cuma ada beberapa, atau malah partai tunggal macam di negeri komunis.
Partai tunggal yang saya maksud disini tentu tidak sekedar mengcopy paste sistem komunis. Namun sebagai sebuah implementasi berbeda tapi satu. Gagasan partai tunggal sebenarnya hampir terwujud, dulu ketika fusi partai di era orde baru diberlakukan.hanya saja pemerintah waktu itu mungkin masih pikir-pikir. Karena waktu itu ada tiga kekuatan besar yang sampai hari ini masih terus bergulat di panggung politik kita. Islam, nasionalis, dan sebelum ditumpas, komunis. Setelah komunis dibasmi, maka hanya tinggal dua kekuatan yang ada nasionalis dan islam. Tentu amat riskan menjadikan duel vis a vis antara keduanya. Muncullah Golongan Karya, sebuah partai yang konon bukan partai tapi golongan.
Era orde baru secara jujur mesti kita akui sebagai orde yang paling menjanjikan kalau bicara masa depan. Paling tidak, masa depan itu diprogram dengan program sakti “Pembangunan Lima Tahun” sebagai sebuah fragmen narasi besar kepemimpinan Bapak kita daripada soeharto, Pembangunan. Tak kurang visi dan misi sudah disusun dengan sangat cermat, dari era agraris, industrialisasi sampai era tinggal landas, sebuah era dimana bangsa kita diprogram sudah mampu bersaing dengan bangsa lain. Orde baru bubar, impian pun buyar.
Praktis sejak reformasi bangsa kita ini tidak punya mimpi yang realistis dan cenderung dicapai secara sistematis. Lihat saja pemerintahan yang jatuh bangun dan silih berganti nyaris tak punya mimpi besar yang bisa ditawarkan. Soekarno menawari kita revolusi, soeharto menawari kita pembangunan. Namun para penggantinya nyaris tak punya narasi kepemimpinan dan impian yang bisa ditanamkan dalam benak rakyat. Partai yang muncul sekarang pun mulai coba menawarkan mimpi, namun nyaris semua:KHAYALAN.
Kenapa khayalan?karena mimpi dalam narasi yang mereka buat hanya narasi untuk mereka sendiri, bukan narasi yang compatible dengan kondisi rakyat.bahkan antar partai pun, narasi masa depan mereka justru malah berpotensi disintegraif. Anda bayangkan saja partai di Indonesia umumnya punya ideologi yang berbeda. Dan jualan mereka dari masa kemasa selalu perbenturan ideologi. Nasionalis yang dipersepsikan sekuler selalu terdikotomi dengan kalangan islam yang selalu dicurigai ingin mendirikan negara islam. Sungguh perdebatan dan pertentangan sia-sia karena sampai hari ini, saat bangsa kita sudah lebih dari separuh abad merdeka, perdebatan ini belum lagi usai. Hasilnya bangsa kita justru makin terpuruk, Cuma lantaran soalan curiga dan prasangka
Pemilu 2009 akan segera tiba, semua partai yang jumlahnya tidak pasti karena setiap partai yang dicoret KPU selalu menang di PTUN, mereka semua juga bangsa Indonesia-yang punya hak ikut pesta. Pesta demokrasi itu akan dimulai. Narasi masa depan dan masa lalu kita juga akan ditulis ulang. Pastinya oleh partai yang menang. Kawanku..........baik yang PDIP,PKS,Golkar atau apapun warna jaket dan ideologi kalian...... Bangsa ini milik kita semua, maka narasi besar adalah tanggungjawab kita semua.Jangan karena anda berkuasa lantas anda merasa berhak memaksakan narasi yang anda buat.
Yang benar itu masih banyak dan yang banyak belum tentu benar.............
Jumat, 12 September 2008
Menjemput Harapan
Perlahan bis itu meluncur menuju Surabaya, dengan harga tiket yang ditawar mati-matian, ia akhirnya berangkat juga. Dengan hanya menggenggam uang yang dia pinjam sebelumnya dari saya ia berangkat menuju dermaga harapannya. Harapan bernama keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagai orang awam yang boleh dikata “nggak ngeh” dengan kehidupan pergerakan, saya salut pada kawan saya ini.
Dia aktivis sebuah pergerakan yang sangat menjunjung nilai islam. Taat beribadah, dan dikenal sebagai orang yang lurus. Sore itu dia datang pada saya. Menceritakan apa yang sedang dihadapinya, sebagai awam ya saya mendengarkan saja kisah anak masjid ini.
Usianya yang menginjak dua puluh empat tahun ternyata membuatnya gusar, sampai kini ia masih sendiri. Padahal kawan sepergerakannya banyak yang sudah berumah tangga. Ia pun akan melangkah ke jenjang itu. Pada titik itu saya bersyukur, setidaknya dalam waktu dekat saya akan makan gratis lagi di kondangan, maklum sebagai anak kos, perbaikan gizi tentu perlu. Ia lalu berkisah tentang calon istrinya.
“Anda tahu siapa calon istri anda?”tanya saya. “Tahu, hanya dari foto dan selembar biodata. Tapi saya yakin”tuturnya. Sebagai kawan-walaupun tidak seorganisasi dan sepergerakan- saya lalu menyarankan kenapa tidak ketemu saja dulu, omong-omong dulu. Dia menjawab lugas, “itu yang akan saya lakukan, tapi saya sudah percaya pada orang ini”. Saya kembali bertanya “Kenapa kok segitu yakinnya?”. Ini yang membuat saya kagum, salut dan hormat padanya atas keputusan ini. Ia lalu menyitir ayat Al Quran surat An Nur ayat 26. “Laki laki baik untuk perempuan baik, begitu juga laki-laki buruk untuk perempuan buruk”tukasnya. Sempurna! Bisik saya dalam hati.
Saya jadi ingat kisah Pak Harto, presiden yang walaupun kontroversial tetap harus kita hormati, karena sedikit banyak, ia juga punya jasa buat negeri ini. Pak Harto menikah dengan Ibu Tien konon kisahnya lantaran sebuah foto. Bu Tin konon langsung setuju hanya dengan melihat potret seorang pak harto muda. Lepas dari segala kontroversi akan kehidupan keluarga mereka, kita disuguhi kisah cinta yang romantis. Dalam era 32 tahun kepemimpinannya nampak Soeharto sangat powerfull, kuncinya satu: soliditas keluarga yang digalangnya bersama Bu Tien. Sehingga cendana nampak selalu kokoh dan harmonis .
Lepas kisah pak harto saya jadi ingat orangtua saya sendiri. Ayah dan ibu saya juga dulu menikah tanpa pacaran selazimnya orang sekarang. Cuma lewat foto dan data di biro jodoh sebuah majalah, mereka ketemu, nikah, dan lahirlah saya dan adik saya. Sejauh ini juga nampak bahagia-bahagia saja.
Ingatan saya lalu terusik kalimatnya “Hanya saja, saya tidak punya cukup uang untuk pergi ke surabaya”tandasnya. Saya sangat mengerti kenapa ia sampai tak ada uang, wajar saja sebagai mahasiswa yang tengah kerja praktek dan semester akhir pasti banyak kebutuhan untuk kuliah. Saya, tanpa pikir panjang lalu memberinya sebuah amplop yang baru saya terima dari sebuah media sebagia honor tulisan. Ia lalu berterimakasih dan berjanji mengembalikannya. Saya bilang; bayar saja dengan menjadikan keluargamu sakinah.Saya mengantarnya menuju terminal Ubung, dan saya saksikan sampai ia benar-benar hilang di ujung tikungan.
Dalam hati terbersit rasa hormat luar biasa pada aktivis pergerakan ini. Betapa keyakinan terhadap Tuhan menjadi kunci baginya untuk membina keluarga. Saya yang bukan aktivis pergerakan apapun jadi miris melihat kondisi pergaulan anak-anak muda sekarang. Konon katanya buat anak muda sekarang sex itu biasa, konon juga gonta-ganti pasangan itu wajar. Bahasa kaum masjidnya : FULL MAKSIAT.
Sebagai orang yang biasa-biasa saja alias orang yang tidak punya cap anak masjid, saya juga sedikit banyak sudah diajari kawan saya ini, bahwa ternyata ada sebuah solusi dalam meluruskan semuanya. Solusi bernama pernikahan. Sebuah solusi dalam menjaga diri dari maksiat. Lebih dari itu kawan saya ini juga mengajari saya tentang teman hidup.
Walau bukan aktivis mesjid saya sangat yakin dengan Al Quran, karena saya orang islam. Namun baru kali ini Surat An Nur ayat 26 yang adalah ayat qouliyah alias ayat yang tertulis seolah nampak nyata atau ayat qouniyah di depan saya. Dengan keberanian yang menurut saya berisiko, ia tempuh juga jalan hidupnya menjemput jodoh yang dijanjikan Tuhannya. Keyakinannya bahwa jodohnya adalah cermin dirinya sendiri membuatnya berani menempuh jalan yang disebut Taaruf itu.
Saya melepas kepergiannya menjemput jodohnya. Kemudian handphone saya berdering sebuah sms dari kawan saya tadi. “Terimakasih sobat, saya tidak akan melupakanmu”. Saya membalasnya “Hati-hati, Percayalah Tuhan selalu memenuhi janjinya”.
Sebagai ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa yang kerap dicurhati mahasiswa dari berbagai kalangan dan background organisasi, baru kali ini ada sebuah penyaluran aspirasi yang tulus, yang jujur dan menggugah hati saya. Sebuah kisah keyakinan seorang anak muda menjemput harapan yang dijanjikan Tuhannya
Sebagai ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa yang kerap dicurhati mahasiswa dari berbagai kalangan dan background organisasi, baru kali ini ada sebuah penyaluran aspirasi yang tulus, yang jujur dan menggugah hati saya. Sebuah kisah keyakinan seorang anak muda menjemput harapan yang dijanjikan Tuhannya
Kamis, 11 September 2008
Perlawanan Dari Kos-Kosan
Buku berkover hitam itu saya pinjam dari seorang teman yang kebetulan aktivis sebuah organisasi keislaman yang bergerak dalam bidang politik. Judulnya cukup menggoda, dan cukup menggugah ‘Perlawanan dari Masjid Kampus’. Di buku itu dikisahkan tentang awal pergerakan yang diikuti teman saya ini. Sebagai orang yang dicap sebagai “bukan anak masjid” masygul juga rasanya hati ini. Seakan ada rasa bersalah karena seakan saya tidak bisa punya peran dalam perubahan.
Bahwa perubahan berawal dari masjid, peradaban juga digagas dari masjid- sebagai orang yang dicap bukan anak masjid, walaupun saya berusaha selalu hadir ke masjid sesering mungkin- maka saya tidak berhak mengklaim sebagai anashirut taghyir, begitu bahasa kaum pesantrennya; agen perubahan. Saya memang sepakat bahwa masjid adalah tempat berkumpulnya insan-insan yang rabbani, dan peradaban masjid tersukses, memang ada. Pemerintahan Nabi di Madinah adalah gambaran pemerintahan masjid oriented yang sukses.
Masjid zaman nabi memang bukan semata tempat shalat sebagaimana sekarang kita dapati. Masjid kala itu memegang peranan yang sangat penting. Masjid adalah simbol sosial, masjid adalah tempat strategi dibahas dan masjid adalah rumah kehidupan, rumah dimana segalanya dibahas dan dibicarakan. Masjid adalah tempat semua yang mengaku islam berkumpul, baik mereka yang berislamnya baik, setengah baik, atau malah tidak baik sekalipun. Karenanya, masjid adalah prototipe kehidupan.
Kembali pada buku yang jadi “bacaan wajib” bagi teman saya dan kawan-kawannya sepergerakan itu, saya jadi kagum bahwa ternyata di zaman sekarang ini masih ada orang yang berjuang dengan masjid sebagai pijakan. Tentu saya kagum karena logika saya kalau pijakannya masjid, tempat orang senantiasa sujud, dan ruku’ pada penciptaNya maka kemungkinan besar mereka juga orang baik. Karena saya percaya orang yang mendekatkan diri pada Tuhannya, maka setidaknya agak segan berbuat yang tidak baik.
Bicara gerakan perlawanan, tentu sangat menarik khususnya bagi mereka yang punya harapan, punya cita-cita memperbaiki bangsanya (baca: melawan kezaliman penguasa). Saya yang biasanya nongkrong di kos selepas kuliah, teman saya yang nongkrong di masjid selepas kuliah, kawan saya yang biasa nongkrong di kafe dan klab malam, dan juga saudara-saudara yang biasa menghabiskan waktunya di laboratorium dan perpustakaan pasti punya harapan. Tentu dengan versinya masing-masing.
Buat mereka yang nongkrong di perpustakaan atau lab, pastinya harapan mereka akan diwarnai dengan intelektualitas dan budaya akademis, namun bukan berarti mereka yang tidak ngongkrong di lab atau perpustakaan tidak punya intelektualitas dan budaya akademis. Untuk mereka yang nongkrong di kafe atau klab malam, pastinya akan diwarnai suasana have fun. Buat kaum pesantren dan kaum masjid mereka juga punya cita-cita sendiri: bahagia dunia akhirat. Nah, tinggal saya yang biasanya nongkrong di kos sambil memelototi kelinci-kelinci saya.
Pastinya saya juga punya harapan, punya pikiran untuk melawan kezaliman sebagaimana kawan-kawan lain. Lebih khususnya kawan-kawan yang nongkrongnya di masjid. Yang sudah lebih dulu me-release “Perlawanan dari Masjid Kampus”. Saya juga punya gagasan; Perlawanan dari kos-kosan. Kos-kosan adalah tempat dimana kita tinggal, dimana kita nongkrong atau sekedar tempat menaruh barang alias tempat transit
Saya percaya bahwa dimanapun kita “nongkrong” yang penting adalah bobot pergaulan kita dengan teman atau saudara se”tongkrongan”. Lebih khusus lagi, tempat dimana kita tinggal. Sejarah sudah mengajari kita bahwa pemimpin besar lahir dari tempat-tempat tinggal yang “besar”. Besar bukan artian fisik, namun besar dalam artian spirit.
Soekarno, presiden republik kita ini, waktu remaja juga indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Dari rumah inilah mentalitas Soekarno dilatih, ia dilatih bagaimana menjadi pemimpin dalam dialektika kehidupan di rumah Founding Fathers Sarekat Islam itu. Mahmoud Ahmadinejad, Presiden iran nan sederhana juga dibesarkan dari tempat yang luar biasa; pemukiman kecil di pinggiran teheran. Namun lingkungan itu mengajari Ahmadinejad menjadi seperti sekarang: sederhana.
Nehru, tokoh kharismatis India pernah bilang bahwa tempat terbaik dalam penempaan mental dan spiritual adalah Penjara. Namun jangan diartikan saya menghasut anda untuk masuk penjara. Menjadi tahanan politik memang merupakan kisah hidup para tokoh pergerakan. Penjara adalah kos-kosan gratis yang mengajari para tahanan politik bagaimana menjadi lebih arif.
Lihat saja Nelson Mandela, ia justru tidak dendam pada rezim yang memenjarakannya. Ia justru lebih arif setelah keluar masuk penjara. Di Republik ini, tentu banyak juga tahanan politik. Yang saya kagumi, M Natsir mantan Pemimpin masyumi juga pernah nge kos di penjara. Juga HAMKA, kyai yang saya kagumi lantaran “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”, menghabiskan waktunya di penjara bahkan sempat menulis tafsir disana. Sayid Quthb tokoh pergerakan islam modern, menulis tafsir Fii Zhilalil Quran yang legendaris juga dari penjara.
Akhirnya saya punya simpulan, bahwa kemerdekaan, perlawanan, dan gagasan itu tergantung pada hati kita. Dimanapun tempat kita, yang penting hati kita punya harapan, punya cita-cita dan langkah mencapainya. Hamka bilang yang penting adalah jiwa yang merdeka. Maka saya juga bisa bilang, walaupun saya anak kos-kosan tentu mereka yang ada di masjid, di jalanan, di klab malam, dan di perpustakaan belum tentu bisa berpikir lebih merdeka dari saya.
Paling tidak, dikamar saya yang berantakan saya pernah menuliskan sebuah teks perlawanan, sebuah gagasan. Dan dari kos-kosan saya yang menyepi di bukit Jimbaran, saya pernah mengumpulkan anak-anak muda bangsa ini. Untuk mengajak mereka sama-sama membangun indonesia yang baru agar sejarah kelak akan mencatatkan untuk kami sebuah kisah :PERLAWANAN DARI KOS-KOSAN
Bahwa perubahan berawal dari masjid, peradaban juga digagas dari masjid- sebagai orang yang dicap bukan anak masjid, walaupun saya berusaha selalu hadir ke masjid sesering mungkin- maka saya tidak berhak mengklaim sebagai anashirut taghyir, begitu bahasa kaum pesantrennya; agen perubahan. Saya memang sepakat bahwa masjid adalah tempat berkumpulnya insan-insan yang rabbani, dan peradaban masjid tersukses, memang ada. Pemerintahan Nabi di Madinah adalah gambaran pemerintahan masjid oriented yang sukses.
Masjid zaman nabi memang bukan semata tempat shalat sebagaimana sekarang kita dapati. Masjid kala itu memegang peranan yang sangat penting. Masjid adalah simbol sosial, masjid adalah tempat strategi dibahas dan masjid adalah rumah kehidupan, rumah dimana segalanya dibahas dan dibicarakan. Masjid adalah tempat semua yang mengaku islam berkumpul, baik mereka yang berislamnya baik, setengah baik, atau malah tidak baik sekalipun. Karenanya, masjid adalah prototipe kehidupan.
Kembali pada buku yang jadi “bacaan wajib” bagi teman saya dan kawan-kawannya sepergerakan itu, saya jadi kagum bahwa ternyata di zaman sekarang ini masih ada orang yang berjuang dengan masjid sebagai pijakan. Tentu saya kagum karena logika saya kalau pijakannya masjid, tempat orang senantiasa sujud, dan ruku’ pada penciptaNya maka kemungkinan besar mereka juga orang baik. Karena saya percaya orang yang mendekatkan diri pada Tuhannya, maka setidaknya agak segan berbuat yang tidak baik.
Bicara gerakan perlawanan, tentu sangat menarik khususnya bagi mereka yang punya harapan, punya cita-cita memperbaiki bangsanya (baca: melawan kezaliman penguasa). Saya yang biasanya nongkrong di kos selepas kuliah, teman saya yang nongkrong di masjid selepas kuliah, kawan saya yang biasa nongkrong di kafe dan klab malam, dan juga saudara-saudara yang biasa menghabiskan waktunya di laboratorium dan perpustakaan pasti punya harapan. Tentu dengan versinya masing-masing.
Buat mereka yang nongkrong di perpustakaan atau lab, pastinya harapan mereka akan diwarnai dengan intelektualitas dan budaya akademis, namun bukan berarti mereka yang tidak ngongkrong di lab atau perpustakaan tidak punya intelektualitas dan budaya akademis. Untuk mereka yang nongkrong di kafe atau klab malam, pastinya akan diwarnai suasana have fun. Buat kaum pesantren dan kaum masjid mereka juga punya cita-cita sendiri: bahagia dunia akhirat. Nah, tinggal saya yang biasanya nongkrong di kos sambil memelototi kelinci-kelinci saya.
Pastinya saya juga punya harapan, punya pikiran untuk melawan kezaliman sebagaimana kawan-kawan lain. Lebih khususnya kawan-kawan yang nongkrongnya di masjid. Yang sudah lebih dulu me-release “Perlawanan dari Masjid Kampus”. Saya juga punya gagasan; Perlawanan dari kos-kosan. Kos-kosan adalah tempat dimana kita tinggal, dimana kita nongkrong atau sekedar tempat menaruh barang alias tempat transit
Saya percaya bahwa dimanapun kita “nongkrong” yang penting adalah bobot pergaulan kita dengan teman atau saudara se”tongkrongan”. Lebih khusus lagi, tempat dimana kita tinggal. Sejarah sudah mengajari kita bahwa pemimpin besar lahir dari tempat-tempat tinggal yang “besar”. Besar bukan artian fisik, namun besar dalam artian spirit.
Soekarno, presiden republik kita ini, waktu remaja juga indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Dari rumah inilah mentalitas Soekarno dilatih, ia dilatih bagaimana menjadi pemimpin dalam dialektika kehidupan di rumah Founding Fathers Sarekat Islam itu. Mahmoud Ahmadinejad, Presiden iran nan sederhana juga dibesarkan dari tempat yang luar biasa; pemukiman kecil di pinggiran teheran. Namun lingkungan itu mengajari Ahmadinejad menjadi seperti sekarang: sederhana.
Nehru, tokoh kharismatis India pernah bilang bahwa tempat terbaik dalam penempaan mental dan spiritual adalah Penjara. Namun jangan diartikan saya menghasut anda untuk masuk penjara. Menjadi tahanan politik memang merupakan kisah hidup para tokoh pergerakan. Penjara adalah kos-kosan gratis yang mengajari para tahanan politik bagaimana menjadi lebih arif.
Lihat saja Nelson Mandela, ia justru tidak dendam pada rezim yang memenjarakannya. Ia justru lebih arif setelah keluar masuk penjara. Di Republik ini, tentu banyak juga tahanan politik. Yang saya kagumi, M Natsir mantan Pemimpin masyumi juga pernah nge kos di penjara. Juga HAMKA, kyai yang saya kagumi lantaran “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”, menghabiskan waktunya di penjara bahkan sempat menulis tafsir disana. Sayid Quthb tokoh pergerakan islam modern, menulis tafsir Fii Zhilalil Quran yang legendaris juga dari penjara.
Akhirnya saya punya simpulan, bahwa kemerdekaan, perlawanan, dan gagasan itu tergantung pada hati kita. Dimanapun tempat kita, yang penting hati kita punya harapan, punya cita-cita dan langkah mencapainya. Hamka bilang yang penting adalah jiwa yang merdeka. Maka saya juga bisa bilang, walaupun saya anak kos-kosan tentu mereka yang ada di masjid, di jalanan, di klab malam, dan di perpustakaan belum tentu bisa berpikir lebih merdeka dari saya.
Paling tidak, dikamar saya yang berantakan saya pernah menuliskan sebuah teks perlawanan, sebuah gagasan. Dan dari kos-kosan saya yang menyepi di bukit Jimbaran, saya pernah mengumpulkan anak-anak muda bangsa ini. Untuk mengajak mereka sama-sama membangun indonesia yang baru agar sejarah kelak akan mencatatkan untuk kami sebuah kisah :PERLAWANAN DARI KOS-KOSAN
Gus Wim
TUA VS MUDA, PKS VS PDIP?
Wacana pemimpin muda, atau lebih tepatnya pemimpin baru belakangan mengemuka. Musababnya jelas, Tifatul Sembiring, Presiden PKS dalam mukernas PKS di Makasar nyata-nyata meminta para pemimpin yang berusia uzur untuk segera turun pentas politik. Hal ini disambut serius oleh Megawati, Ketua umum PDIP. Mega bahkan menantang Tifatul untuk maju dan bertempur di gelanggang pilpres 2009.
Geli juga rasanya mendengar pertempuran wacana antara dua partai ini, yang satu punya basis kalangan menengah keatas, lainnya berbasis kalangan menengah ke bawah. Satunya partai kader, lainnya partai massa, satunya berbasis islam, yang lain berbasis nasionalis. Namun Yang paling menonjol menurut saya : Yang satu mengaku anak muda dan lainnya merasa sudah tua.
Kepemimpinan anak muda di pentas nasional memang merupakan hal yang boleh dikata sebagai sesuatu yang anyar walaupun sebenarnya ini adalah isu lama. Dianggap baru, karena baru berhembus kencang saat ini, dan dianggap lama kalau kita lihat sejarah bahwa presiden pertama dan kedua kita saat memangku jabatan presiden adalah “anak muda” yang “balita”, bawah lima puluh tahun.
Memang kalau dilihat dari alasan menjadi pemimpin, kedua partai ini boleh dibilang punya kesempatan yang besar. Tanpa mengesampingkan partai besar lain macam Golkar, PPP,PAN,Demokrat dan PKB. PDIP dan PKS menawarkan sesuatu yang relatif mampu mendulang suara. PKS dengan kekuatan mesin politik bernama kader yang militan, PDIP punya kharisma Megawati yang seolah tak luntur dimakan umur.
Setidaknya dengan alasan itulah kedua partai ini bisa mendulang suara di 2009. Hanya saja kalau melihat dari sisi kemungkinan untuk merubah Indonesia, nampaknya dua partai ini belum mampu menjadi partai yang menghadirkan harapan untuk Indonesia kedepan. Kenapa? Karena dua partai ini, sepertinya kurang bisa menjalin komunikasi politik dan koalisi strategis untuk menjalankan roda pemerintahan.
PDIP, setidaknya pernah merasakan saat-saat berkuasa. Saat mereka berkuasa, nampak sekali mereka bahkan tak mampu menghadirkan aharapan akan perubahan. Harapan saja tidak! Lihat privatisasi besar-besaran BUMN pada masa Megawati, belum lagi kecelakaan ekonomis bernama penjualan gas yang dijual seharga “kacang goreng”. Sungguh tragedi pemerintahan yang menyedihkan. Masalahnya lagi saat era megawati, seolah kita hidup dalam dunia yang pragmatis, dan kehilangan akar pemikiran bahwa bangsa ini semestinya memikirkan masa depannya. Hal ini dicerminkan dalam privatisasi BUMN dan langkah obral aset yang lainnya. Seolah berpikir sangat sederhana; perlu duit ya jual saja, untuk dapat duit. Tentu ini logika yang terlalu “wong cilik” bukan logika wong pinter.
Semestinya pemimpin seklaipun ia menyebut diri wong cilik, dalam urusan memerintah ia harus menggunakan logika wong pinter. Karena pemimpin mesti menjadi selangkah lebih depan dari rakyatnya dalam berpikir dan lebih belakang dari rakyat untuk urusan memakmurkan diri. Potret inilah yang zaman PDIP berkuasa seolah tak nampak.
Beralih ke PKS, sebagai partai yang umurnya saja belum akil balig, PKS boleh dibilang masih dilabeli stigma sebagai partai islam garis keras, yang bahkan dicap ingin mendirikan negara islam. Memang jika dilihat dari perspektif awam, PKS adalah partai islam yang sangat menjunjung tinggi kislamannya. Pada titik ini banyak yang respek pada PKS, pada kader-kadernya yang nampak santun dalam berpolitik. Namun tetap saja PKS nampak masih punya barrier ideologis dalam menjalin komunikasi politik dengan partai lain.
Sehingga kalau kelak PKS memerintah, bisa jadi rong-rongan politis akan sangat besar jika tak mampu mengendalikan parlemen. Sehingga ujungnya menjadi pemerintahan yang ompong. Pemerintahan SBY adalah contoh kisah itu, betapa tak berdayanya SBY yang merupakan presiden pilihan ralyat menghadapi tekanan partai besar yang termanifestasikan di legislatif. Sehingga PKS punya tugas besar jika ia klak menjadi pemimpin negeri ini; menjalin komunikasi politik dan koalisi strategis dengan elemen ;ain bangsa ini. Karena bangsa ini, yang terdiri dari beragam budaya, agama, suku dan ras perlu dipimpin oleh orang yang berpikir moderat dan cerdas. Mungkin kisah Nabi Muhammad saat memimpin Madinah adalah kisah yang mesti ditiru kalau PKS mau menjadi pemimpin di negeri ini. Menurut riwayat nabi sendiri, Nabi adalah politisi handal yang punya manuver-manuver politik strategis namun tak melanggar agama.
PDIP, sebagai Partai yang pernah berkuasa, juga mesti merombak diri, setidaknya mampu meyakinkan rakyat lagi bahwa masa depan tidak akan begitu-begitu saja. Tidak akan dipimpin oleh orang yang memimpin dengan frame berpikir wong cilik, karena pemimpin seklaipun ia berasal dari kalangan wong cilik, ia harus berpikir dengan pola wong pinter.
Pemimpin Masa Depan
Kalau PDIP tetap keukeuh dengan Megawati sebagai capres, yang tentu saja secara umur boleh dibilang sudah uzur, PKS belum lagi menentukan capresnya yang katanya mewakili generasi muda. Ada Hidayat Nur Wahid, ada Tifatul Sembiring, dan sederet nama lain macam Anis Matta, Mahfudz siddiq dan yang paling muda mungkin Rama Pratama. Maka akan sangat menarik melihat pertarungan Tua vs Muda. karena Tua vs muda bukan Cuma soalan umur, atau tokoh yang maju.
Kalau PDIP tetap keukeuh dengan Megawati sebagai capres, yang tentu saja secara umur boleh dibilang sudah uzur, PKS belum lagi menentukan capresnya yang katanya mewakili generasi muda. Ada Hidayat Nur Wahid, ada Tifatul Sembiring, dan sederet nama lain macam Anis Matta, Mahfudz siddiq dan yang paling muda mungkin Rama Pratama. Maka akan sangat menarik melihat pertarungan Tua vs Muda. karena Tua vs muda bukan Cuma soalan umur, atau tokoh yang maju.
Karena isu ini sudah membakar semua orang baik yang berasal dari partai politik maupun LSM, maka boleh jadi semua pihak akan saling klaim tua atau muda, untuk berebut jadi pemimpin bangsa ini. Contoh, Fadjroel rahman yang sedang getol mengkampanyekan capres independen, boleh jadi adalah orang yang termakan isu kepemimpinan anak muda yang dihembuskan PKS, karena sebelumnya, Fadjroel relatif “sepi” dari isu capres independen, walaupun ia memperjuangkan calon kepala daerah independen.
Kisah lain adalah Yuddy Chrisnandi, politisi yang hengkang dari golkar. Yudi mungkin adalah orang yang paling terprovokasi .Kenapa? Karena ia langsung melepas golkar untuk mengejar RI-1. Entah benar atau tidak, Yudi konon mundur karena sulit maju lewat golkar. Jadilah hengkang sebagai pilihan.
Tua vs Muda, memang adalah msalah pelik, sejak zaman kemerdekaan kita, sejak “anak-anak muda” menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke rengasdengklok, sampai hari ini Tua vs Muda yang hari ini sebenarnya seakan berubah menjadi duel dua partai PDIP Vs PKS.
Gus Wim
Tua vs Muda, memang adalah msalah pelik, sejak zaman kemerdekaan kita, sejak “anak-anak muda” menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke rengasdengklok, sampai hari ini Tua vs Muda yang hari ini sebenarnya seakan berubah menjadi duel dua partai PDIP Vs PKS.
Gus Wim
Virus itu bernama merah jambu
“Aku mencintaimu karena alloh” begitu isi sms yang masuk ke handphone seorang gadis yang aktif di sebuah lembaga keagamaan. Pengirimnya sahabat saya sendiri yang juga sama-sama aktif di lembaga itu. Saya sendiri tahu sms itu karena difordward oleh si gadis kepada saya sambil ditambahi kata-kata” bilang sama dia saya tidak suka hal seperti ini”. Sebagai orang yang awam dan kurang ngeh dengan agama saya jadi bingung sendiri. Orang-orang yang “ngeh” saja masih suka hal-hal dunia, apalagi saya. Tentu kalau saya mungkin karena awam, saya Cuma akan bilang aku mencintaimu, titik, tanpa ada embel-embel Tuhan yang diseret-seret.
Memang aneh menyimak pergaulan anak-anak masjid atau anak rohis atau anak-anak yang berafiliasi dalam lembaga yang berbau agama. Mereka selalu menyitir ayat, hadis atau apapun itu kadang untuk kepentingan yang tidak semestinya. Hal diatas adalah kasusnya. Betapa banyak orang yang nampaknya “gak suka dunia” ternyata punya kelakuan justru lebih cinta dunia dibanding dengan mereka yang selama ini dicap cinta dunia.
Sebagai awam, sekali lagi sebagai orang yang tidak berafiliasi dalam organisasi yang berbau agama, saya jadi heran terhadap tingkah sebagian kalangan ini. Ayat 32 Surat Al Isra padahal sudah jelas, dan pastinya menurut saya kita punya tafsir yang seragam dalam urusan itu; zina itu menjijikkan. Bahkan mendekatinya saja sudah dilarang. Anehnya, mereka yang selama ini saya anggap lebih faham agama dibanding saya yang tidak berafiliasi kemanapun, ternyata justru lebih parah.
Memang akan ada pendapat itu kan hanya oknumnya saja, bukan organisasinya. Namun izinkan saya bertanya, dimanakah letak pemahaman doktrin organisasi yang mengatasnamakan islam? Bukankah organisasi yang mengatasnamakan islam maka ia juga mesti memahami doktrin bahwa islam adalah sempurna, sebagaimana dalam Al MAidah ayat 3 Alloh berfirman bahwa telah kusempurnakan agamamu. Maka tentu adalah keterpelsetan pemikiran kalau organisasi yang berlabel islam justru tidak islami.
Islami yang saya maksudkan juga bukan terjebak pada simbolisasi tertentu. Seolah jika kita menggunakan symbol seperti kerudung, baju koko atau kopiah maka itu adalah bisa dibilang islami. Secara tampilan, mungkin hal itu bisa dikatakan islami versi Indonesia, namun suasana atau islami yang lebih penting sebenarnya adalah islami secara pemikiran, hanif dalam perbuatan dan akhirnya maka ia akan menjalankan semuanya sesuai dngan rule of islam dalam segala spek hidupnya
Semestinya organisasi yang melabelisasi diri dengan agama, mampu memanifestasikan itu dalam pikiran. Dalam hal ini adalah doktrin yang didoktrinkan pada para anggota atau kadernya. Karena sungguh masygul mendengar seorang aktivis sebuah organisasi yang melabeli diri dengan islam, kedapatan mencuri di sebuah toko buku. Sedih rasanya, seolah organisasi yang digelutinya tidak mampu mewarnai sikap hidup anggotanya.
Kembali pada kisah kawan yang saya ceritakan diatas, saya melihat in facts tak ada sorang pun yang mampu lepas dari perasaan suka pada lawan jenis. Hal itu adalah suatu kodrat dan wajar. Yang menjadi tidak wajar adalah manakala kita tahu rule atau aturan namun kita justru melabraknya baik dengan halus maupun kasar. Pada organisasi islam semestinya sistem islam itu dijaga dengan baik. Karena parametrnya tentu adalah organisasi itu.
Islam, adalah agama yang syumul, syamil mutakammil, alias sempurna. Tentu urusan cinta juga ada salurannya. Dengan cara yang hanif, santun dan menjaga martabat. Sehingga jika sudah menerapkannya maka saya yakin, kisah bunuh diri karena di putus pacar tidak akan ada lagi. Namun ternyata justru sistem impian itu masih jauh diatas langit.
Karena justru kemuliaan islam dirusak oleh sekelompok orang yang melabeli diri dengan islam namun justru menrapkan cara yang sama sekali tidak dibolehkan. Setahu saya, berpegangan tangan dua orang berlainan jenis yang bukan muhrim atau bukan suami istri atau hubungan lain yang memungkinkan itu adalah dilarang. Namun sbuah kenyataan tersaji di depan saya pada suatu waktu saat saya melihat sahabat saya, aktivis sebuah ormas islam justru membonceng kekasihnya yang juga memiliki afiliasi yang sama pada ormas tersbut.
Dalam hati saya berpikir, ini namanya justru saling menjerumuskan satu sama lain. Seolah diantara dua orang -yang tadinya saya hormati karena pemahaman agamanya- tak ada yang ingat hadits Rasululloh SAW yang mengatakan bahwa lebih baik ditusuk dengan besi menyala dari ujung kaki sampai kepala dibanding dengan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram. Akhirnya saya justru berpikir sedikit manusiawi; yah mereka juga manusia, tempat salah dan lupa.
Memang awam-seperti saya ini- terlanjur mencap mereka yang berafiliasi dengan organisasi keislaman adalah sekumpulan orang-orang soleh yang kalau bergaul dengan mereka kita serasa melihat surga dan jika jauh seakan melihat neraka. Karenanya ekspektasi itu mungkin juga salah, karena yang kita cap itu juga manusia biasa.
Namun apapun itu, tentu sangat tidak dibenarkan kalau aktivis islam justru mendistorsi nilai-nilai islam yang ada khususnya dalam pergaulan dengan lawan jenis. Karena disadari atau tidak, khalayak biasanya menganggap potret islam itu adalah kehidupan aktivis islam itu. Akhirnya haruskah potret islam yang ada pada para aktivis itu harus ternoda?terkontaminasi virus bernama merah jambu? Virus merah jambu itu menjangkiti siapapun kapanpun dimanapun, dan aktivis islam pun tak lepas dari hal itu. Virus yang manusiawi namun jika salah saluran justru ia akan menghancurkan mimpi kemanusiaan itu sendiri. Hanya waktu yang akan menjawab.
Gus Wim, orang biasa bukan santri
Gus Wim, orang biasa bukan santri
Sabtu, 30 Agustus 2008
SEPARATISME EMOSIONAL
Sebuah polisi tidur menuju Mushalla Umar Bin Khattab di Kawasan JImbaran menjelang ashar nampak berbeda, sebuah polisi tidur itu nampak tergores dengan beberapa goresan. Kalau mau jujur isi goresan itu mengandung sesuatu yang semestinya tidak terpampang di muka khalayak walaupun itu mungkin yang dirasa si empunya goresan.
"Dibikin orang Jawa", begitu kalimat itu terpahat dalam polisi tidur yang membentang di jalan kecil menuju mushalla. Suatu ketika saat bom baru saja meledak, polisi adat ala bali yang dikenal dengan pecalang mengadakan razia terhadap para pedagang keliling. Kembali miris rasanya hati ini, "Kamu Jangan ngebom ya!"bentaknya. KIsah yang hampir sama juga pasca bom, hampir pada sepanjang jalan yang biasanya saya dengan mudah temukan warung sari laut khas lamongan, namun kini semua berubah.
Semua warung sari laut itu berganti menjadi "warung sari laut surabaya" atau warung sari laut saja. What happen to Lamongan?. Jelas buat sebagian kalangan di Bali, kata lamongan bakal mengingatkan pada Am rozi, smiling bomber van lamongan.
TAdinya saya pikir itu strategi bisnis semata, namun setelah saya mencoba bertanya pada para pedagang itu hampir semua menjawab seragam : "Takut di cap teroris".
Saya mulai mengingat lagi lembaran sejarah bangsa ini, memang bangsa kita yang heterogen ini punya bakat-bakat perpecahan alias disintegrasi. Tengoklah potret ini: Di JAwa barat, hampir tidak ada jalan yang bernama Gajah Mada, khususnya di Bandung, kiblat budaya sunda. Hal yang sama juga saya dapati di Mojokerto, dimana seorang kawan saya pernah dilarang masuk Unpad oleh orang tuanya lantaran alasan :itu bukan tempat kita.
JIka mengingat masa silam, memang antara sunda dan Jawa punya hubungan masa lalu yang suram. Apalagi kalau bukan Perang Bubat, perang kontroversial yang sampai hari ini tak ada satu sumber pun yang dianggap valid.
Orang sunda bahkan hampir selamanya akan menganggap orang jawa itu pengecut, penipu dan tamak. Lantaran dianggap berusaha menaklukan kerajaan sunda dengan cara yang tak ksatria, menyerang rombongan pengantin Dyah PItaloka. Karenanya jika ada kenalan anda yang memegang tradisi sunda tulen, tanyakan padanya akan "Esti larangan ti Kaluaran". Sebuah karma sejarah lantaran politik masa lalu yang tak berujung pangkal.
Bagi orang Jawa, bubat memang tak begitu berdampak besar, setidaknya generasi sekarang sudah banyak yang melupakannya. Namun tetap saja, bagi sebagian orang di Mojokerto yang konon merupakan tempat dimana Majapahit berdiri, berkeluarga dengan orang sunda adalah sebuah pantangan.
Nah, itu baru konflik dua suku besar. belum lagi konflik-konflik lainnya yang bernuansa etnis dan kadang agama. Seolah bangsa kita ini sudah tak lagi sadar merah putih. tak lagi sadar bahwa mereka satu.
Karena memang bhineka tunggal ika itu cuma slogan, yang bahkan tak satupun pemerintahan yang pernah berdiri di republik ini mampu menerapkannya dengan baik. Jadilah kita terpecah-pecah, setidaknya dalam perasaan.
Inilah yang saya sebut separatisme emosional, dimana secara emosional disintegrasi itu justru ada dan jauh lebih berbahaya.Ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam hal yang sangat sempit dan kecil sekalipun. IA justru menjadi ancaman, karena dipendam.
Sesuatu yang dipendam biasanya jika mencapai kulminasi akan meledak dengan sontak. Lihat potret kalimantan yang tercabik. Itulah potret kecil pendaman amarah yang bernama separatisme emosional.
Parahnya lagi, sebuah hukum tak tertulis yang dipaksakan dianggap tak terbantahkan di dalam tata negara kita.PRESIDEN ORANG JAWA DAN WAPRES LUAR JAWA. Sebuah adagium yang sok historis. Karena menganggap dwi tunggal pertama yakni Soekarno Hatta adalah pakem dalam tampuk kekuasaan.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap, ada orang seperti Natsir yang dengan mosi integralnya mampu menyatukan Indonesia, namun lebih dari itu menyatukan perasaan bangsa Indonesia. karena separatisme emosional lebih berbahaya dari separatisme teritorial.
"Dibikin orang Jawa", begitu kalimat itu terpahat dalam polisi tidur yang membentang di jalan kecil menuju mushalla. Suatu ketika saat bom baru saja meledak, polisi adat ala bali yang dikenal dengan pecalang mengadakan razia terhadap para pedagang keliling. Kembali miris rasanya hati ini, "Kamu Jangan ngebom ya!"bentaknya. KIsah yang hampir sama juga pasca bom, hampir pada sepanjang jalan yang biasanya saya dengan mudah temukan warung sari laut khas lamongan, namun kini semua berubah.
Semua warung sari laut itu berganti menjadi "warung sari laut surabaya" atau warung sari laut saja. What happen to Lamongan?. Jelas buat sebagian kalangan di Bali, kata lamongan bakal mengingatkan pada Am rozi, smiling bomber van lamongan.
TAdinya saya pikir itu strategi bisnis semata, namun setelah saya mencoba bertanya pada para pedagang itu hampir semua menjawab seragam : "Takut di cap teroris".
Saya mulai mengingat lagi lembaran sejarah bangsa ini, memang bangsa kita yang heterogen ini punya bakat-bakat perpecahan alias disintegrasi. Tengoklah potret ini: Di JAwa barat, hampir tidak ada jalan yang bernama Gajah Mada, khususnya di Bandung, kiblat budaya sunda. Hal yang sama juga saya dapati di Mojokerto, dimana seorang kawan saya pernah dilarang masuk Unpad oleh orang tuanya lantaran alasan :itu bukan tempat kita.
JIka mengingat masa silam, memang antara sunda dan Jawa punya hubungan masa lalu yang suram. Apalagi kalau bukan Perang Bubat, perang kontroversial yang sampai hari ini tak ada satu sumber pun yang dianggap valid.
Orang sunda bahkan hampir selamanya akan menganggap orang jawa itu pengecut, penipu dan tamak. Lantaran dianggap berusaha menaklukan kerajaan sunda dengan cara yang tak ksatria, menyerang rombongan pengantin Dyah PItaloka. Karenanya jika ada kenalan anda yang memegang tradisi sunda tulen, tanyakan padanya akan "Esti larangan ti Kaluaran". Sebuah karma sejarah lantaran politik masa lalu yang tak berujung pangkal.
Bagi orang Jawa, bubat memang tak begitu berdampak besar, setidaknya generasi sekarang sudah banyak yang melupakannya. Namun tetap saja, bagi sebagian orang di Mojokerto yang konon merupakan tempat dimana Majapahit berdiri, berkeluarga dengan orang sunda adalah sebuah pantangan.
Nah, itu baru konflik dua suku besar. belum lagi konflik-konflik lainnya yang bernuansa etnis dan kadang agama. Seolah bangsa kita ini sudah tak lagi sadar merah putih. tak lagi sadar bahwa mereka satu.
Karena memang bhineka tunggal ika itu cuma slogan, yang bahkan tak satupun pemerintahan yang pernah berdiri di republik ini mampu menerapkannya dengan baik. Jadilah kita terpecah-pecah, setidaknya dalam perasaan.
Inilah yang saya sebut separatisme emosional, dimana secara emosional disintegrasi itu justru ada dan jauh lebih berbahaya.Ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam hal yang sangat sempit dan kecil sekalipun. IA justru menjadi ancaman, karena dipendam.
Sesuatu yang dipendam biasanya jika mencapai kulminasi akan meledak dengan sontak. Lihat potret kalimantan yang tercabik. Itulah potret kecil pendaman amarah yang bernama separatisme emosional.
Parahnya lagi, sebuah hukum tak tertulis yang dipaksakan dianggap tak terbantahkan di dalam tata negara kita.PRESIDEN ORANG JAWA DAN WAPRES LUAR JAWA. Sebuah adagium yang sok historis. Karena menganggap dwi tunggal pertama yakni Soekarno Hatta adalah pakem dalam tampuk kekuasaan.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap, ada orang seperti Natsir yang dengan mosi integralnya mampu menyatukan Indonesia, namun lebih dari itu menyatukan perasaan bangsa Indonesia. karena separatisme emosional lebih berbahaya dari separatisme teritorial.
Senin, 25 Agustus 2008
Cerpen renungan "Pemimpin"
PEMIMPIN
Cerpen Putu WijayaCemas karena anak-anak sekarang mulai apatis, tidak punya cita-cita, saya bertanya kepada cucu saya.''Agus, nanti kalau sudah besar kau mau jadi apa?''Cucu saya dengan tegas menjawab, ''Mau jadi pemimpin.''Saya tertegun. Bangga karena penerus saya punya cita-cita besar. Perkara bisa kejadian atau hanya sekadar mengkhayal, tidak apa. Punya impian paling tidak membuat ada arah yang pasti di tengah kebingungan dunia yang edan ini.''Jadi pemimpin?''''Ya! Memang kenapa?''''Tidak apa-apa. Semua cita-cita itu baik. Tapi kenapa kamu mau jadi pemimpin?''Agus kontan menjawab seakan-akan pertanyaan itu sudah lama ditunggunya.''Karena aku sudah bosan diperintah. Disuruh bangun pagi. Disuruh sekolah. Disuruh belajar. Disuruh nganterin pergi belanja. Disuruh ikut arisan. Disuruh nemenin kalau ada resepsi pernikahan. Disuruh jaga rumah. Disuruh anteng kalau ada tamu. Capek ah! Sekarang aku mau memerintah!''''O jadi kamu pikir pemimpin itu tukang ngasih perintah?''''Bukan tukang perintah doang, tukang larang juga! Tidak boleh begadang, tidak boleh keluar malam! Tidak boleh ngomong jorok! Tidak boleh main motor. Tidak boleh cemberut kalau ada tamu! Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh! Ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya tidak boleh! Capek deh!''''Itu artinya kamu mau bebas?!''''Persis!''Saya bengong.''Kamu pikir pemimpin itu raja bebas?''''Ya dong! Kalau tidak bebas itu bukan pemimpin.''''Salah! Pemimpin itu justru orang yang paling tidak bebas. Buat seorang pemimpin tidak ada hari Minggu, tidak ada hari libur, semua hari adalah kerja!''''Itu pemimpin yang goblok!''''Agus ... ''''Kalau rakyat antre beli minyak tanah, pemimpin tinggal makan saja, yang masak kan rakyat. Masak pemimpin masak sendiri. Kalau rakyat tidak boleh masuk jalan bebas kendaraan bermotor, pemimpin bablas saja nggak ada yang berani larang. Kalau rakyat dibakar karena maling ayam, pemimpin yang makan uang rakyat triliunan diampuni dan dijadikan pahlawan. Kalau rakyat ketiduran waktu kerja dipecat, tapi pemimpin main SMS dan ngorok, yang selingkuh pada jam kerja, malah jadi selebriti! Masak Kakek tidak tahu?''Saya mau menjawab tapi Agus langsung angkat tangan.''Stop jangan ceramah, aku ada pekerjaan yang lebih penting!''''Apa?''Cucu saya langsung meloncat ke dekat TV. Sebab jam menunjukkan pukul 5. Itu jatahnya untuk main PS2 sampai pukul 6.Saya hanya bisa mengurut dada. Berdebat dengan cucu tidak mungkin. Saya kira kunci konsleting itu pada orang tuanya. Anak saya dan mantu saya hampir tak pernah ada di rumah. Keduanya sibuk. Saya hampir tidak mengerti, apa gunanya rumah kalau mereka lebih banyak tidur di hotel karena ikut seminar dan rapat-rapat yang tidak satu pun yang tidak penting.Saya kira mereka sudah jarang tidur bersama. Mungkin itu sebabnya Agus tidak punya adik lagi. Kalau sudah sampai di situ, saya tambah bingung. Pernikahan sekarang memang beda dengan zaman saya dulu. Dulu pernikahan adalah mencari teman tidur. Untuk berbagi suka-duka bersama. Sekarang perkawinan seperti mendirikan PT, untuk mengumpulkan duit.Memang cucu saya jadi tidak kekurangan apa pun. Segala fasilitas yang dia butuhkan ada, karena penghasilan anak saya dan istrinya berkelebihan. Sekolah cucu saya juga lebih mahal dari sekolah kedokteran. Tapi begitulah, keduanya tidak pernah ada waktu mendampingi anaknya berkembang. Akibatnya cucu saya menderita kemiskinan jiwa.Lalu saya minta waktu untuk bicara pada anak saya. Saya jelaskan bagaimana bahayanya membiarkan anak berkembang sendirian. Sekolah mahal, segala fasilitas melimpah, tidak cukup untuk menggantikan kasih-sayang yang hilang, karena anak tidak bisa tumbuh tanpa doping kasih-sayang orang tua.''Kurangi sedikit aktivitas kalian. Beri waktu sedikit saja buat Agus,'' kata saya.Anak saya, juga mantu saya, paham apa yang saya katakan. Mereka kemudian mencoba untuk menyediakan waktu buat Agus. Tapi apa yang terjadi. Pertengkaran.Agus merasa tersiksa. Gerak-geriknya yang diawasi dengan berbagai halangan, membuat dia senewen. Rumah dirasanya menjadi neraka. Orang tuanya juga kaget dan merasa Agus tidak mampu untuk mempergunakan kebebasan. Lalu Agus dimasukkan ke dalam asrama.Sejak itu saya yang kehilangan. Buat lelaki tua yang tak punya rencana lagi, cucu adalah segala-galanya. Memiliki cucu lebih dari memiliki anak, kebahagiaannya bertumpuk. Kehadiran seorang cucu adalah jaminan dada lapang, karena tahu riwayat kita akan berkelanjutan, walaupun nanti kita sudah tak hadir lagi.Saya mencoba untuk bertahan. Rasa sepi itu saya injak. Pagi hari, saya kehilangan burung yang menyanyi. Siang hari, berjam-jam waktu lambat berjalan, sehingga saya jadi kelimpungan. Tidur bosan. Nonton televisi menyebalkan. Ngobrol sama istri, nenek cucu saya, menjengkelkan. Semua omongannya sudah saya tahu, seperti juga sudah saya hapal seluruh lekuk tubuhnya termasuk jumlah tai lalatnya.Malam hari saya tak bisa tidur. Saya coba jalan-jalan keluar rumah. Tapi baru satu kali, saya langsung masuk angin. Istri saya marah-marah dan menuduh saya sedang memasuki puber keempat. Nggak akan ada artis yang mau sama tua bangka seperti kamu lagi, biar pun duit kamu segepok, katanya, sehingga saya malu.Akhirnya saya mulai menghibur diri dengan ngomong sendiri. Dan ini membuat saya dibawa ke seorang psikolog. Untung dokter lulusan Jerman itu pintar. Dia tidak memberikan nasehat supaya saya kawin lagi. Dia hanya minta cucu saya ditarik dari asrama. Karena dia menyimpulkan bahwa jiwa saya sudah terganggu kehilangan sebuah cahaya hati.Tapi anak saya tidak peduli. Buat dia lebih penting anaknya aman. Saya, bapaknya, mungkin dianggap sepeda tua, karatan juga biarin saja. Cucu saya tetap di asrama. Hanya sebulan sekali boleh pulang untuk mengobati rindu saya. Apa boleh buat. Negosiasi yang tidak terlalu menguntungkan itu terpaksa saya terima juga.Ketika cucu saya pulang pertama kali, saya limpahi dia dengan seluruh kerinduan. Saya berikan dia hadiah yang selalu dirindukannya, tapi tak pernah dikabulkan oleh orang tuanya. Sebuah motor balap.Agus senang sekali. Dia memeluk saya, sehingga saya merasa hidup lagi. Dipeluk oleh cucu seribu kali lebih nikmat dari dipeluk oleh istri yang memeluk karena tugas. Agus langsung terbang ke sana-kemari dengan motor itu. Hati saya rasanya pecah karena melihat kegembiraannya. Rumah kembali nyaman. Dan saya ingin hari lebih panjang. Makanan yang selalu saya kutuk saya kecap. Tidur pun jadi asyik.Tapi itu hanya satu hari. Motor cucu saya ditemukan ringsek diinjak truk. Untung truk itu sedang berhenti. Rupanya ada yang mencoba untuk meniru kelakuan jagoan dalam film yang nyerosot menerobos bawah truk sambil memiringkan kendaraannya.''Untung Agus tidak apa-apa, hanya motornya saja yang hancur!'' kata istri saya menyumpahi perbuatan saya yang dianggapnya sebagai dosa tak berampun itu.Saya tidak bisa memberikan pembelaan. Meskipun yang mengendarai motor itu bukan Agus tapi kawannya. Artinya peristiwa itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan Agus. Juga tidak bisa dianggap sebagai contoh bahwa Agus memang tidak pantas naik motor. Contoh itu justru penting untuk menjelaskan pada Agus bahwa naik motor itu berbahaya bagi orang yang tidak terlatih. Jadi dia tidak akan naik motor karena dilarang, tapi karena memang dia mengerti dia tidak siap.Sejak itu Agus tidak pulang lagi. Kalau liburan, orang tuanya menjemput. Lalu mereka keluar kota berlibur. Saya tidak diberi kesempatan dekat lagi dengan cucu karena dianggap berbahaya. Itu berlangsung cukup lama. Tapi untunglah saya tidak jadi gila karena itu. Karena perlahan-lahan kemudian saya mengalihkan perhatian saya pada istri saya. ''Ternyata manusia itu bukan besi tua, tapi tape yang makin matang makin menendang,'' kata saya.''Maksudmu siapa?''''Kamu!''Meskipun itu hanya rayuan gombal, ternyata istri saya senang. Dan itu memperbaiki hubungan kami menjadi segar lagi setelah bertahun-tahun terasa hambar. Aneh, meskipun dia sudah tua, tapi kalau diperhatikan sebenarnya dia masih menarik. Bahkan kemudian saya tahu bahwa dia masih tetap romantis.*** Beberapa tahun kemudian, ketika cucu saya lulus SMA saya kembali bertanya-tanya. Saya cemas, karena di depannya sekarang terbentang banyak jalan yang harus dipilih dengan tepat. Salah pilih resikonya berat.''Sebelum memastikan kamu mau melanjutkan ke mana, kamu harus tentukan dulu sebenarnya kamu mau jadi apa, Agus?''Cucu saya yang sudah mulai pakai kumis menjawab tanpa ragu-ragu.''Aku ingin jadi pemimpin.''''Lho, itu kan cita-citamu yang dulu?''''Memang!''''Kenapa?''''Sebab pemimpin itu punya banyak fasilitas yang tidak dimiliki orang biasa!''''Fasilitas?''''Ya! Kemudahan-kemudahan. Rumah, kendaraan, keamanan, kesejahteraan, semuanya dicukupi. Tidak perlu memikirkan apa-apa, semuanya sudah ada. Masak pemimpin naik angkot? Paling sedikit Mercy. Ngapain naik bus, pasti naik kapal terbang dan mesti kelas satu. Masak pemimpin ngontrak rumah, pasti rumah bertingkat dengan taman dan penjaga dan pengawalan kalau lagi jalan. Masak pemimpin makan nasi kucing, pasti steak sirloan. Masak pemimpin gajinya sama dengan tukang ojek, paling sedikit 45 juta satu bulan, belum lagi uang sidang dan berbagai fasilitas plus kemudahan lain. Belum lagi hadiah-hadiah, sumbangan, kado, bingkisan dari masyarakat dan para konglomerat yang mendukung,. Paling sedikit kunci mobil yang harganya 3 miliar.''Saya tercengang.''Lho kamu pikir pemimpin itu seperti itu?''''Lebih dari itu, Kek!''''Masak?''''Ya! Lihat saja pemimpin-pemimpin itu. Pasti kaya. Mobilnya paling sedikit 5. Rumahnya di mana-mana. Padahal gajinya kecil. Berapa sih? Tapi kenapa bisa punya hotel, perkebunan, saham, pabrik, puluhan perusahaan?''Saya mulai marah. Jelek-jelek saya juga pernah jadi pemimpin. Minimal saya menjabat RT selama 30 tahun di pemukiman kami dulu.''Pemimpin itu tidak begitu!''''Memang tidak! Pemimpin itu abdi masyarakat. Aturannya dia orang kelas dua, karena dia hanya mewakili rakyat. Wakil kan orang suruhan. Tapi kalau orang datang maksa-maksa ngasih kunci mobil, kunci rumah, ngasih duit segepok bahkan ngasih perempuan, bagaimana bisa menolak? Orang bisa tersinggung, terhina, marah kalau ditolak mentah-mentah. Jadi pemimpin harus bisa memuaskan hati rakyat. Bukan hanya rakyat yang memerlukan sandang-pangan, juga rakyat yang kelebihan dan ingin memberi. Ya kan, Kek?''Saya mau membantah. Tiba-tiba cucu saya mengulurkan sebuah kotak kecil.''Apa itu?''''Hadiah buat ulang pernikahan Kakek dan Nenek. Agus beli dengan uang tabungan Agus sendiri.''Cucu saya kemudian membuka kotak itu. Istri saya yang nyamperin ketika melihat cucunya mengulurkan sebuah kotak, menjerit.''Berlian!''''Ya. Ini kalung berlian untuk Nenek dan jam tangan untuk Kakek!''Sebelum saya bisa menjawab, istri saya sudah langsung menyambut kotak itu dan memeluk cucunya. Lalu ia terbang ke tetangga untuk menyiarkan kebanggaannya mendapat hadiah berlian dari cucu, walaupun saya yakin berlian itu palsu.''Kakek boleh menolak kalau berani,'' kata Agus.Saya tidak bisa menjawab. Saya mengerti apa yang hendak dikatakan oleh cucu saya. Bagaimana saya akan bisa menolak, kalau istri saya, neneknya itu, begitu bangga dengan pemberian itu.Saya lupakan saja soal berlian itu. Kalau Agus memang mau jadi pemimpin, ya sudah jadiin saja. Saya mendukungnya. Siapa tahu dia akan menjadi pemimpin yang lain. Pemimpin yang berbeda dari pemimpin-pemimpin yang selama ini kita sesali.Dengan sungguh-sungguh saya ikuti sepak terjang Agus dari jauh. Sekolahnya melaju dengan bagus. Akibat tempaan asrama yang ketat, dia menjadi gigih dan berdisiplin. Tidak jauh dari target yang sudah tersedia, dia bisa menyelesaikan pendidikan tingginya dengan baik. Tidak istimewa, tetapi dia lulus tepat pada waktunya.Agus langsung bekerja. Di samping itu seperti juga orang tuanya, ia aktip berorganisasi. Dalam waktu yang pendek, karirnya menanjak. Kemudian dengan tidak terasa, ia mulai mendapat jabatan penting. Lalu akhirnya pegang pucuk pimpinan.Agus yang nakal itu kini sudah jadi orang. Ia menikah dengan seorang bekas Ratu Dangdut. Kehidupan keluarganya serasi. Anaknya sudah dua. Namanya bagus. Masyakat mencintainya. Dia benar-benar memenuhi hasratnya untuk menjadi seorang pemimpin.Itulah saatnya saya kembali bertanya. Lalu saya mencari kesempatan baik dan bicara dari hati ke hati.''Agus,'' kata saya dengan blak-blakan, ''sebagai lelaki dengan lelaki, Kakek ingin bicara terus-terang kepada kamu sekarang.''''Apa yang bisa saya bantu, Kek?''''Tidak. Kakek tidak minta dibantu. Kakek hanya mau bertanya. Sekarang kamu sudah jadi pemimpin.''''Ya lebih kurang begitu kata orang.''''Itu berarti kamu sudah mencapai cita-citamu.''''Ya, bisa dikatakan begitu.''''Jangan menjawab dengan: bisa dikatakan begitu. Yang tegas saja. Memang kamu sudah mencapai cita-citamu jadi pemimpin. Betul tidak?''''Ya, betul tapi mungkin tidak seperti Kakek bayangkan.''''Maksudmu?''''Saya memang seorang pemimpin sekarang.''''Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang pernah kamu rindukan dulu kan?!''Agus tersenyum.''Betul.''''Tidak ada yang memerintah kamu lagi. Karena kamulah yang memberikan perintah?!''''Ya memang.''''Kamu dapatkan banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Orang antre mau beli karcis Java Jazz, nabung untuk beli karcis Lionel Richie, setumpukan karcis diantarkan kepada kamu dengan jemputan mobilnya sekalian. Betul?''Agus ketawa.''Betul.''''Orang kepingin punya perusahaan untuk jaminan masa tua, tapi pengusaha malah datang kepada kamu dan minta kamu jadi Presdir perusahaan penerbangan baru. Betul?''Agus mengangguk.''Betul.''Saya tertawa, karena si Agus cucu saya tidak bisa membantah. Saya juga bangga, sebab apa yang dilamunkannya sudah jadi kenyataan. Itu tidak akan terjadi kalau dia tidak ampuh dan hebat.''Kakek bangga karena kamu tidak hanya mimpi dan melamun tapi bekerja nyata!''Agus ketawa.''Terima kasih, Kek. Memang betul apa yang Kakek bilang. Tapi terus-terang, cara Kakek melihat itu tidak adil.''''Maksudmu?''''Ya Kakek menceritakan semua itu seperti menceritakan tentang orang yang mendaki Gunung Himalaya, lalu menancapkan bendera di puncaknya.''''Tapi memang begitu kan? Kamu seorang pendaki gunung yang sukses!''Muka Agus tiba-tiba murung.''Seorang pemimpin tidak sama dengan pendaki gunung yang sukses, Kek. Kelihatannya memang sama, tapi beda. Pendaki gunung setelah sukses tinggal menikmati prestasinya. Tapi seorang pemimpin?''''Sama kan?''''Tidak. Sesudah menjadi pemimpin, aku tidak bisa lagi menjadi Agus, cucu Kakek. Aku harus memimpin. Aku harus bertanggung jawab terhadap segala hal. Bahkan terhadap semua kekeliruan dan dosa-dosa orang lain yang menjadi tanggung jawabku. Aku harus mengurus banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan aku. Aku tidak punya hak untuk tertawa, tersenyum, apalagi tidur seperti manusia biasa. Aku sudah jadi mesin, robot, bulan-bulanan dan tong sampah. Ada ayam mati juga aku yang ditoleh dan ditanya kenapa? Ada orang kejepit juga aku yang disalahkan, sebab di puncak segala-galanya aku yang harus bertanggung jawab.''Agus berhenti bicara dan menahan dirinya, sebab kelihatannya semua mau tumpah. Aku belum pernah melihat dia curhat dan menderita seperti itu.''Aku sudah mati, Kek.''Saya tercengang. Ketika ingin menjawab untuk menghiburnya, tiba-tiba HP dan telepon bunyi bareng. Agus cepat menggapai. Mukanya langsung pucat. Lalu ia berdiri.''Maaf Kek, aku terpaksa pergi. Anak buahku ada yang tertangkap oleh KPK, kasus penyuapan uang negara puluhan miliar. Nanti kita lanjutkan!''Saya tidak bisa bilang apa-apa. Tiba-tiba segala kebanggaan saya rontok. Hati saya terenyuh melihat cucu saya sudah dijadikan mayat seperti itu. Pasti itu kesalahan anak buahnya, tetapi kalau ada apa-apa dia yang akan diseret, karena dialah puncak yang tertinggi.Di tempat tidur, saya sampaikan semua itu pada istri saya. Perempuan tua itu tak jadi ngorok. Matanya nyap-nyap sepanjang malam. Kami terkenang pada masa lalu. Teringat Agus yang nakal, tetapi ceria dan hidup. Kini cucu kami sudah begitu jauh di awang-awang dan menggelepar tak berdaya karena terikat oleh begitu banyak tanggung jawab.''Kita tidak bisa membiarkan cucu kita mati,'' kata istri saya.''Ya. Untuk apa jadi pemimpin, kalau harus mati.''''Kalau begitu suruh dia berhenti dan jadi orang biasa saja. Yang penting dalam hidup ini kan kebahagiaan. Buat apa mendapat fasilitas dan bisa memerintah kalau tidak bahagia?''''Betul sekali!''Kemudian saya mencari kesempatan yang tepat untuk bicara hati ke hati lagi dengan Agus. Lama sekali baru kesampaian. Walaupun dia cucu saya, tapi sejak jadi pemimpin, dia memang sudah seperti orang lain yang jaraknya ribuan kilometer.''Agus, Kakek sudah berembuk dengan Nenek. Setelah kami pertimbangkan masak-masak, melihat keadaanmu serta mendengarkan semua penderitaan yang harus kamu tanggung sebagai pemimpin, kami mendesak, lebih baik kamu berhenti. Kami lebih senang kamu tetap hidup daripada menjadi pemimpin, tapi mati.''Agus tersenyum.''Terima kasih, Kek. Aku juga sudah berusaha, tapi tidak bisa.''''Tidak bisa? Apa susahnya berhenti?''''Tidak bisa, Kek.''''Ah, jangan bilang, tidak ada yang tidak bisa mengganti. Lihat di sekitarmu, mereka antre seabrek-abrek bahkan gontok-gontokan untuk mengganti, kalau kamu mau mundur.''''Itu betul.''''Makanya berhenti saja!''''Tidak bisa, Kek!''''Kenapa?''Agus tersenyum pahit.''Kenapa?''''Karena, meskipun mati, jadi pemimpin itu ternyata enak, Kek.'' ***Astya Puri, 30 April 2008
Cerpen Putu WijayaCemas karena anak-anak sekarang mulai apatis, tidak punya cita-cita, saya bertanya kepada cucu saya.''Agus, nanti kalau sudah besar kau mau jadi apa?''Cucu saya dengan tegas menjawab, ''Mau jadi pemimpin.''Saya tertegun. Bangga karena penerus saya punya cita-cita besar. Perkara bisa kejadian atau hanya sekadar mengkhayal, tidak apa. Punya impian paling tidak membuat ada arah yang pasti di tengah kebingungan dunia yang edan ini.''Jadi pemimpin?''''Ya! Memang kenapa?''''Tidak apa-apa. Semua cita-cita itu baik. Tapi kenapa kamu mau jadi pemimpin?''Agus kontan menjawab seakan-akan pertanyaan itu sudah lama ditunggunya.''Karena aku sudah bosan diperintah. Disuruh bangun pagi. Disuruh sekolah. Disuruh belajar. Disuruh nganterin pergi belanja. Disuruh ikut arisan. Disuruh nemenin kalau ada resepsi pernikahan. Disuruh jaga rumah. Disuruh anteng kalau ada tamu. Capek ah! Sekarang aku mau memerintah!''''O jadi kamu pikir pemimpin itu tukang ngasih perintah?''''Bukan tukang perintah doang, tukang larang juga! Tidak boleh begadang, tidak boleh keluar malam! Tidak boleh ngomong jorok! Tidak boleh main motor. Tidak boleh cemberut kalau ada tamu! Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh! Ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya tidak boleh! Capek deh!''''Itu artinya kamu mau bebas?!''''Persis!''Saya bengong.''Kamu pikir pemimpin itu raja bebas?''''Ya dong! Kalau tidak bebas itu bukan pemimpin.''''Salah! Pemimpin itu justru orang yang paling tidak bebas. Buat seorang pemimpin tidak ada hari Minggu, tidak ada hari libur, semua hari adalah kerja!''''Itu pemimpin yang goblok!''''Agus ... ''''Kalau rakyat antre beli minyak tanah, pemimpin tinggal makan saja, yang masak kan rakyat. Masak pemimpin masak sendiri. Kalau rakyat tidak boleh masuk jalan bebas kendaraan bermotor, pemimpin bablas saja nggak ada yang berani larang. Kalau rakyat dibakar karena maling ayam, pemimpin yang makan uang rakyat triliunan diampuni dan dijadikan pahlawan. Kalau rakyat ketiduran waktu kerja dipecat, tapi pemimpin main SMS dan ngorok, yang selingkuh pada jam kerja, malah jadi selebriti! Masak Kakek tidak tahu?''Saya mau menjawab tapi Agus langsung angkat tangan.''Stop jangan ceramah, aku ada pekerjaan yang lebih penting!''''Apa?''Cucu saya langsung meloncat ke dekat TV. Sebab jam menunjukkan pukul 5. Itu jatahnya untuk main PS2 sampai pukul 6.Saya hanya bisa mengurut dada. Berdebat dengan cucu tidak mungkin. Saya kira kunci konsleting itu pada orang tuanya. Anak saya dan mantu saya hampir tak pernah ada di rumah. Keduanya sibuk. Saya hampir tidak mengerti, apa gunanya rumah kalau mereka lebih banyak tidur di hotel karena ikut seminar dan rapat-rapat yang tidak satu pun yang tidak penting.Saya kira mereka sudah jarang tidur bersama. Mungkin itu sebabnya Agus tidak punya adik lagi. Kalau sudah sampai di situ, saya tambah bingung. Pernikahan sekarang memang beda dengan zaman saya dulu. Dulu pernikahan adalah mencari teman tidur. Untuk berbagi suka-duka bersama. Sekarang perkawinan seperti mendirikan PT, untuk mengumpulkan duit.Memang cucu saya jadi tidak kekurangan apa pun. Segala fasilitas yang dia butuhkan ada, karena penghasilan anak saya dan istrinya berkelebihan. Sekolah cucu saya juga lebih mahal dari sekolah kedokteran. Tapi begitulah, keduanya tidak pernah ada waktu mendampingi anaknya berkembang. Akibatnya cucu saya menderita kemiskinan jiwa.Lalu saya minta waktu untuk bicara pada anak saya. Saya jelaskan bagaimana bahayanya membiarkan anak berkembang sendirian. Sekolah mahal, segala fasilitas melimpah, tidak cukup untuk menggantikan kasih-sayang yang hilang, karena anak tidak bisa tumbuh tanpa doping kasih-sayang orang tua.''Kurangi sedikit aktivitas kalian. Beri waktu sedikit saja buat Agus,'' kata saya.Anak saya, juga mantu saya, paham apa yang saya katakan. Mereka kemudian mencoba untuk menyediakan waktu buat Agus. Tapi apa yang terjadi. Pertengkaran.Agus merasa tersiksa. Gerak-geriknya yang diawasi dengan berbagai halangan, membuat dia senewen. Rumah dirasanya menjadi neraka. Orang tuanya juga kaget dan merasa Agus tidak mampu untuk mempergunakan kebebasan. Lalu Agus dimasukkan ke dalam asrama.Sejak itu saya yang kehilangan. Buat lelaki tua yang tak punya rencana lagi, cucu adalah segala-galanya. Memiliki cucu lebih dari memiliki anak, kebahagiaannya bertumpuk. Kehadiran seorang cucu adalah jaminan dada lapang, karena tahu riwayat kita akan berkelanjutan, walaupun nanti kita sudah tak hadir lagi.Saya mencoba untuk bertahan. Rasa sepi itu saya injak. Pagi hari, saya kehilangan burung yang menyanyi. Siang hari, berjam-jam waktu lambat berjalan, sehingga saya jadi kelimpungan. Tidur bosan. Nonton televisi menyebalkan. Ngobrol sama istri, nenek cucu saya, menjengkelkan. Semua omongannya sudah saya tahu, seperti juga sudah saya hapal seluruh lekuk tubuhnya termasuk jumlah tai lalatnya.Malam hari saya tak bisa tidur. Saya coba jalan-jalan keluar rumah. Tapi baru satu kali, saya langsung masuk angin. Istri saya marah-marah dan menuduh saya sedang memasuki puber keempat. Nggak akan ada artis yang mau sama tua bangka seperti kamu lagi, biar pun duit kamu segepok, katanya, sehingga saya malu.Akhirnya saya mulai menghibur diri dengan ngomong sendiri. Dan ini membuat saya dibawa ke seorang psikolog. Untung dokter lulusan Jerman itu pintar. Dia tidak memberikan nasehat supaya saya kawin lagi. Dia hanya minta cucu saya ditarik dari asrama. Karena dia menyimpulkan bahwa jiwa saya sudah terganggu kehilangan sebuah cahaya hati.Tapi anak saya tidak peduli. Buat dia lebih penting anaknya aman. Saya, bapaknya, mungkin dianggap sepeda tua, karatan juga biarin saja. Cucu saya tetap di asrama. Hanya sebulan sekali boleh pulang untuk mengobati rindu saya. Apa boleh buat. Negosiasi yang tidak terlalu menguntungkan itu terpaksa saya terima juga.Ketika cucu saya pulang pertama kali, saya limpahi dia dengan seluruh kerinduan. Saya berikan dia hadiah yang selalu dirindukannya, tapi tak pernah dikabulkan oleh orang tuanya. Sebuah motor balap.Agus senang sekali. Dia memeluk saya, sehingga saya merasa hidup lagi. Dipeluk oleh cucu seribu kali lebih nikmat dari dipeluk oleh istri yang memeluk karena tugas. Agus langsung terbang ke sana-kemari dengan motor itu. Hati saya rasanya pecah karena melihat kegembiraannya. Rumah kembali nyaman. Dan saya ingin hari lebih panjang. Makanan yang selalu saya kutuk saya kecap. Tidur pun jadi asyik.Tapi itu hanya satu hari. Motor cucu saya ditemukan ringsek diinjak truk. Untung truk itu sedang berhenti. Rupanya ada yang mencoba untuk meniru kelakuan jagoan dalam film yang nyerosot menerobos bawah truk sambil memiringkan kendaraannya.''Untung Agus tidak apa-apa, hanya motornya saja yang hancur!'' kata istri saya menyumpahi perbuatan saya yang dianggapnya sebagai dosa tak berampun itu.Saya tidak bisa memberikan pembelaan. Meskipun yang mengendarai motor itu bukan Agus tapi kawannya. Artinya peristiwa itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan Agus. Juga tidak bisa dianggap sebagai contoh bahwa Agus memang tidak pantas naik motor. Contoh itu justru penting untuk menjelaskan pada Agus bahwa naik motor itu berbahaya bagi orang yang tidak terlatih. Jadi dia tidak akan naik motor karena dilarang, tapi karena memang dia mengerti dia tidak siap.Sejak itu Agus tidak pulang lagi. Kalau liburan, orang tuanya menjemput. Lalu mereka keluar kota berlibur. Saya tidak diberi kesempatan dekat lagi dengan cucu karena dianggap berbahaya. Itu berlangsung cukup lama. Tapi untunglah saya tidak jadi gila karena itu. Karena perlahan-lahan kemudian saya mengalihkan perhatian saya pada istri saya. ''Ternyata manusia itu bukan besi tua, tapi tape yang makin matang makin menendang,'' kata saya.''Maksudmu siapa?''''Kamu!''Meskipun itu hanya rayuan gombal, ternyata istri saya senang. Dan itu memperbaiki hubungan kami menjadi segar lagi setelah bertahun-tahun terasa hambar. Aneh, meskipun dia sudah tua, tapi kalau diperhatikan sebenarnya dia masih menarik. Bahkan kemudian saya tahu bahwa dia masih tetap romantis.*** Beberapa tahun kemudian, ketika cucu saya lulus SMA saya kembali bertanya-tanya. Saya cemas, karena di depannya sekarang terbentang banyak jalan yang harus dipilih dengan tepat. Salah pilih resikonya berat.''Sebelum memastikan kamu mau melanjutkan ke mana, kamu harus tentukan dulu sebenarnya kamu mau jadi apa, Agus?''Cucu saya yang sudah mulai pakai kumis menjawab tanpa ragu-ragu.''Aku ingin jadi pemimpin.''''Lho, itu kan cita-citamu yang dulu?''''Memang!''''Kenapa?''''Sebab pemimpin itu punya banyak fasilitas yang tidak dimiliki orang biasa!''''Fasilitas?''''Ya! Kemudahan-kemudahan. Rumah, kendaraan, keamanan, kesejahteraan, semuanya dicukupi. Tidak perlu memikirkan apa-apa, semuanya sudah ada. Masak pemimpin naik angkot? Paling sedikit Mercy. Ngapain naik bus, pasti naik kapal terbang dan mesti kelas satu. Masak pemimpin ngontrak rumah, pasti rumah bertingkat dengan taman dan penjaga dan pengawalan kalau lagi jalan. Masak pemimpin makan nasi kucing, pasti steak sirloan. Masak pemimpin gajinya sama dengan tukang ojek, paling sedikit 45 juta satu bulan, belum lagi uang sidang dan berbagai fasilitas plus kemudahan lain. Belum lagi hadiah-hadiah, sumbangan, kado, bingkisan dari masyarakat dan para konglomerat yang mendukung,. Paling sedikit kunci mobil yang harganya 3 miliar.''Saya tercengang.''Lho kamu pikir pemimpin itu seperti itu?''''Lebih dari itu, Kek!''''Masak?''''Ya! Lihat saja pemimpin-pemimpin itu. Pasti kaya. Mobilnya paling sedikit 5. Rumahnya di mana-mana. Padahal gajinya kecil. Berapa sih? Tapi kenapa bisa punya hotel, perkebunan, saham, pabrik, puluhan perusahaan?''Saya mulai marah. Jelek-jelek saya juga pernah jadi pemimpin. Minimal saya menjabat RT selama 30 tahun di pemukiman kami dulu.''Pemimpin itu tidak begitu!''''Memang tidak! Pemimpin itu abdi masyarakat. Aturannya dia orang kelas dua, karena dia hanya mewakili rakyat. Wakil kan orang suruhan. Tapi kalau orang datang maksa-maksa ngasih kunci mobil, kunci rumah, ngasih duit segepok bahkan ngasih perempuan, bagaimana bisa menolak? Orang bisa tersinggung, terhina, marah kalau ditolak mentah-mentah. Jadi pemimpin harus bisa memuaskan hati rakyat. Bukan hanya rakyat yang memerlukan sandang-pangan, juga rakyat yang kelebihan dan ingin memberi. Ya kan, Kek?''Saya mau membantah. Tiba-tiba cucu saya mengulurkan sebuah kotak kecil.''Apa itu?''''Hadiah buat ulang pernikahan Kakek dan Nenek. Agus beli dengan uang tabungan Agus sendiri.''Cucu saya kemudian membuka kotak itu. Istri saya yang nyamperin ketika melihat cucunya mengulurkan sebuah kotak, menjerit.''Berlian!''''Ya. Ini kalung berlian untuk Nenek dan jam tangan untuk Kakek!''Sebelum saya bisa menjawab, istri saya sudah langsung menyambut kotak itu dan memeluk cucunya. Lalu ia terbang ke tetangga untuk menyiarkan kebanggaannya mendapat hadiah berlian dari cucu, walaupun saya yakin berlian itu palsu.''Kakek boleh menolak kalau berani,'' kata Agus.Saya tidak bisa menjawab. Saya mengerti apa yang hendak dikatakan oleh cucu saya. Bagaimana saya akan bisa menolak, kalau istri saya, neneknya itu, begitu bangga dengan pemberian itu.Saya lupakan saja soal berlian itu. Kalau Agus memang mau jadi pemimpin, ya sudah jadiin saja. Saya mendukungnya. Siapa tahu dia akan menjadi pemimpin yang lain. Pemimpin yang berbeda dari pemimpin-pemimpin yang selama ini kita sesali.Dengan sungguh-sungguh saya ikuti sepak terjang Agus dari jauh. Sekolahnya melaju dengan bagus. Akibat tempaan asrama yang ketat, dia menjadi gigih dan berdisiplin. Tidak jauh dari target yang sudah tersedia, dia bisa menyelesaikan pendidikan tingginya dengan baik. Tidak istimewa, tetapi dia lulus tepat pada waktunya.Agus langsung bekerja. Di samping itu seperti juga orang tuanya, ia aktip berorganisasi. Dalam waktu yang pendek, karirnya menanjak. Kemudian dengan tidak terasa, ia mulai mendapat jabatan penting. Lalu akhirnya pegang pucuk pimpinan.Agus yang nakal itu kini sudah jadi orang. Ia menikah dengan seorang bekas Ratu Dangdut. Kehidupan keluarganya serasi. Anaknya sudah dua. Namanya bagus. Masyakat mencintainya. Dia benar-benar memenuhi hasratnya untuk menjadi seorang pemimpin.Itulah saatnya saya kembali bertanya. Lalu saya mencari kesempatan baik dan bicara dari hati ke hati.''Agus,'' kata saya dengan blak-blakan, ''sebagai lelaki dengan lelaki, Kakek ingin bicara terus-terang kepada kamu sekarang.''''Apa yang bisa saya bantu, Kek?''''Tidak. Kakek tidak minta dibantu. Kakek hanya mau bertanya. Sekarang kamu sudah jadi pemimpin.''''Ya lebih kurang begitu kata orang.''''Itu berarti kamu sudah mencapai cita-citamu.''''Ya, bisa dikatakan begitu.''''Jangan menjawab dengan: bisa dikatakan begitu. Yang tegas saja. Memang kamu sudah mencapai cita-citamu jadi pemimpin. Betul tidak?''''Ya, betul tapi mungkin tidak seperti Kakek bayangkan.''''Maksudmu?''''Saya memang seorang pemimpin sekarang.''''Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang pernah kamu rindukan dulu kan?!''Agus tersenyum.''Betul.''''Tidak ada yang memerintah kamu lagi. Karena kamulah yang memberikan perintah?!''''Ya memang.''''Kamu dapatkan banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Orang antre mau beli karcis Java Jazz, nabung untuk beli karcis Lionel Richie, setumpukan karcis diantarkan kepada kamu dengan jemputan mobilnya sekalian. Betul?''Agus ketawa.''Betul.''''Orang kepingin punya perusahaan untuk jaminan masa tua, tapi pengusaha malah datang kepada kamu dan minta kamu jadi Presdir perusahaan penerbangan baru. Betul?''Agus mengangguk.''Betul.''Saya tertawa, karena si Agus cucu saya tidak bisa membantah. Saya juga bangga, sebab apa yang dilamunkannya sudah jadi kenyataan. Itu tidak akan terjadi kalau dia tidak ampuh dan hebat.''Kakek bangga karena kamu tidak hanya mimpi dan melamun tapi bekerja nyata!''Agus ketawa.''Terima kasih, Kek. Memang betul apa yang Kakek bilang. Tapi terus-terang, cara Kakek melihat itu tidak adil.''''Maksudmu?''''Ya Kakek menceritakan semua itu seperti menceritakan tentang orang yang mendaki Gunung Himalaya, lalu menancapkan bendera di puncaknya.''''Tapi memang begitu kan? Kamu seorang pendaki gunung yang sukses!''Muka Agus tiba-tiba murung.''Seorang pemimpin tidak sama dengan pendaki gunung yang sukses, Kek. Kelihatannya memang sama, tapi beda. Pendaki gunung setelah sukses tinggal menikmati prestasinya. Tapi seorang pemimpin?''''Sama kan?''''Tidak. Sesudah menjadi pemimpin, aku tidak bisa lagi menjadi Agus, cucu Kakek. Aku harus memimpin. Aku harus bertanggung jawab terhadap segala hal. Bahkan terhadap semua kekeliruan dan dosa-dosa orang lain yang menjadi tanggung jawabku. Aku harus mengurus banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan aku. Aku tidak punya hak untuk tertawa, tersenyum, apalagi tidur seperti manusia biasa. Aku sudah jadi mesin, robot, bulan-bulanan dan tong sampah. Ada ayam mati juga aku yang ditoleh dan ditanya kenapa? Ada orang kejepit juga aku yang disalahkan, sebab di puncak segala-galanya aku yang harus bertanggung jawab.''Agus berhenti bicara dan menahan dirinya, sebab kelihatannya semua mau tumpah. Aku belum pernah melihat dia curhat dan menderita seperti itu.''Aku sudah mati, Kek.''Saya tercengang. Ketika ingin menjawab untuk menghiburnya, tiba-tiba HP dan telepon bunyi bareng. Agus cepat menggapai. Mukanya langsung pucat. Lalu ia berdiri.''Maaf Kek, aku terpaksa pergi. Anak buahku ada yang tertangkap oleh KPK, kasus penyuapan uang negara puluhan miliar. Nanti kita lanjutkan!''Saya tidak bisa bilang apa-apa. Tiba-tiba segala kebanggaan saya rontok. Hati saya terenyuh melihat cucu saya sudah dijadikan mayat seperti itu. Pasti itu kesalahan anak buahnya, tetapi kalau ada apa-apa dia yang akan diseret, karena dialah puncak yang tertinggi.Di tempat tidur, saya sampaikan semua itu pada istri saya. Perempuan tua itu tak jadi ngorok. Matanya nyap-nyap sepanjang malam. Kami terkenang pada masa lalu. Teringat Agus yang nakal, tetapi ceria dan hidup. Kini cucu kami sudah begitu jauh di awang-awang dan menggelepar tak berdaya karena terikat oleh begitu banyak tanggung jawab.''Kita tidak bisa membiarkan cucu kita mati,'' kata istri saya.''Ya. Untuk apa jadi pemimpin, kalau harus mati.''''Kalau begitu suruh dia berhenti dan jadi orang biasa saja. Yang penting dalam hidup ini kan kebahagiaan. Buat apa mendapat fasilitas dan bisa memerintah kalau tidak bahagia?''''Betul sekali!''Kemudian saya mencari kesempatan yang tepat untuk bicara hati ke hati lagi dengan Agus. Lama sekali baru kesampaian. Walaupun dia cucu saya, tapi sejak jadi pemimpin, dia memang sudah seperti orang lain yang jaraknya ribuan kilometer.''Agus, Kakek sudah berembuk dengan Nenek. Setelah kami pertimbangkan masak-masak, melihat keadaanmu serta mendengarkan semua penderitaan yang harus kamu tanggung sebagai pemimpin, kami mendesak, lebih baik kamu berhenti. Kami lebih senang kamu tetap hidup daripada menjadi pemimpin, tapi mati.''Agus tersenyum.''Terima kasih, Kek. Aku juga sudah berusaha, tapi tidak bisa.''''Tidak bisa? Apa susahnya berhenti?''''Tidak bisa, Kek.''''Ah, jangan bilang, tidak ada yang tidak bisa mengganti. Lihat di sekitarmu, mereka antre seabrek-abrek bahkan gontok-gontokan untuk mengganti, kalau kamu mau mundur.''''Itu betul.''''Makanya berhenti saja!''''Tidak bisa, Kek!''''Kenapa?''Agus tersenyum pahit.''Kenapa?''''Karena, meskipun mati, jadi pemimpin itu ternyata enak, Kek.'' ***Astya Puri, 30 April 2008
Sabtu, 23 Agustus 2008
PERANG BUBAT; WHY SUNDA HATE THEIR EAST BROTHER
Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.
Rencana pernikahan
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]
Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah-pahaman
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Rencana pernikahan
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]
Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah-pahaman
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Siapa Wibisana????
Wibisana (Sanskerta: विभीषण, Vibhīshaṇa) adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana. Wibisana merupakan putera bungsu dari Resi Wisrawa, putera Resi Pulatsya, dengan seorang puteri Detya bernama Kekasi. Wibisana memiliki tiga saudara kandung, bernama Rahwana, Kumbakarna, dan Surpanaka. Di antara saudaranya, Wibisana adalah anak yang paling baik. Sifatnya tidak seperti rakshasa pada umumnya meskipun ia merupakan keturunan rakshasa. Karakternya mirip dengan Prahlada yang dilahirkan sebagai keturunan asura, namun menjadi pemuja Wisnu yang setia.
Kepribadian
Wibisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Wisnu. Ketika Rahwana dan Kumbakarna bertapa memuja Brahma, Wibisana juga berbuat demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Wibisana untuk memohon anugerah, Wibisana meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau dharma. Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para dewa.
Peran di Alengka
Dalam kisah Ramayana, setelah gagal membujuk kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Wibisana memutuskan untuk berpihak pada Rama yang diyakininya sebagai pihak yang benar. Hal ini berarti dia harus melawan kakaknya sendiri (Rahwana) demi membela kebenaran. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbakarna (yang juga masih saudara kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela tanah air, walaupun menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah. Wibisana merupakan tokoh yang menunjukkan bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan ikatan persaudaraan.
Wibisana memihak Rama
Karena merasa tidak mendapat tempat di Alengka, Wibisana pergi bersama empat rakshasa yang baik dan menghadap Rama. Dalam perjalanan ia dihadang oleh Sugriwa, raja wanara yang mencurigai kedatangan Wibisana dari Alengka. Setelah Rama yakin bahwa Wibisana bukan orang jahat, Wibisana menjanjikan persahabatan yang kekal. Dalam misi menghancurkan Rahwana, Wibisana banyak memberi tahu rahasia Alengka dan seluk-beluk setiap rakshasa yang menghadang Rama dan pasukannya. Wibisana juga sadar apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan wanara, dan melaporkannya kepada Rama. Saat pasukan wanara berhasil dikelabui oleh Indrajit, Wibisana adalah orang yang tanggap dan mengetahui akal Indrajit yang licik.
Ketika Kumbakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Wibisana memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Rama mengabulkan dan mempersilakan Wibisana untuk bercakap-cakap sebelum pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbakarna, Wibisana memohon agar Kumbakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh. Wibisana juga pasrah apabila Kumbakarna hendak membunuhnya. Melihat ketulusan adiknya, Kumbakarna merasa terharu. Kumbakarna tidak menyalahkan Wibisana sebab ia berbuat benar. Kumbakarna juga berkata bahwa ia bertempur karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya sendiri. Setelah bercakap-cakap, Wibisana mohon pamit dari hadapan Kumbakarna dan mempersilakannya maju untuk menghadapi Rama.
[Raja Alengka
Setelah Kumbakarna dan Rahwana dibunuh oleh Rama, Wibisana dan para sahabatnya menyelenggarakan upacara pembakaran yang layak bagi kedua ksatria tersebut. Kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Alengka yang sah. Ia merawat Mandodari, janda yang ditinggalkan Rahwana, dan hidup bersama dengan permaisurinya yang bernama Sarma. Wibisana memerintah Alengka dengan bijaksana. Ia mengubah Alengka menjadi kota yang berlandaskan dharma dan kebajikan, setelah sebelumnya rusak karena pemerintahan Rahwana.
Kepribadian
Wibisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Wisnu. Ketika Rahwana dan Kumbakarna bertapa memuja Brahma, Wibisana juga berbuat demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Wibisana untuk memohon anugerah, Wibisana meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau dharma. Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para dewa.
Peran di Alengka
Dalam kisah Ramayana, setelah gagal membujuk kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Wibisana memutuskan untuk berpihak pada Rama yang diyakininya sebagai pihak yang benar. Hal ini berarti dia harus melawan kakaknya sendiri (Rahwana) demi membela kebenaran. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbakarna (yang juga masih saudara kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela tanah air, walaupun menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah. Wibisana merupakan tokoh yang menunjukkan bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan ikatan persaudaraan.
Wibisana memihak Rama
Karena merasa tidak mendapat tempat di Alengka, Wibisana pergi bersama empat rakshasa yang baik dan menghadap Rama. Dalam perjalanan ia dihadang oleh Sugriwa, raja wanara yang mencurigai kedatangan Wibisana dari Alengka. Setelah Rama yakin bahwa Wibisana bukan orang jahat, Wibisana menjanjikan persahabatan yang kekal. Dalam misi menghancurkan Rahwana, Wibisana banyak memberi tahu rahasia Alengka dan seluk-beluk setiap rakshasa yang menghadang Rama dan pasukannya. Wibisana juga sadar apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan wanara, dan melaporkannya kepada Rama. Saat pasukan wanara berhasil dikelabui oleh Indrajit, Wibisana adalah orang yang tanggap dan mengetahui akal Indrajit yang licik.
Ketika Kumbakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Wibisana memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Rama mengabulkan dan mempersilakan Wibisana untuk bercakap-cakap sebelum pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbakarna, Wibisana memohon agar Kumbakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh. Wibisana juga pasrah apabila Kumbakarna hendak membunuhnya. Melihat ketulusan adiknya, Kumbakarna merasa terharu. Kumbakarna tidak menyalahkan Wibisana sebab ia berbuat benar. Kumbakarna juga berkata bahwa ia bertempur karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya sendiri. Setelah bercakap-cakap, Wibisana mohon pamit dari hadapan Kumbakarna dan mempersilakannya maju untuk menghadapi Rama.
[Raja Alengka
Setelah Kumbakarna dan Rahwana dibunuh oleh Rama, Wibisana dan para sahabatnya menyelenggarakan upacara pembakaran yang layak bagi kedua ksatria tersebut. Kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Alengka yang sah. Ia merawat Mandodari, janda yang ditinggalkan Rahwana, dan hidup bersama dengan permaisurinya yang bernama Sarma. Wibisana memerintah Alengka dengan bijaksana. Ia mengubah Alengka menjadi kota yang berlandaskan dharma dan kebajikan, setelah sebelumnya rusak karena pemerintahan Rahwana.
''Zero Accident'' cuma Mimpi
INDUSTRI penerbangan di negeri kita tak ubahnya industri pencetak maut. Belum reda tangis keluarga korban Adam Air Flight KI 574, sekarang pesawat Garuda Indonesia yang notabene flag carrier -- yang standar perawatannya termasuk terbaik di Indonesia -- juga celaka. Sebegitu suramkah dunia dirgantara kita? Atau memang segalanya adalah takdir yang tak bisa kita tolak?
-----------------------
Banyak faktor yang mempengaruhi banyaknya kecelakaan yang terjadi. Setidaknya maintenance yang buruk, skill airman atau awak udara yang kurang dan juga maraknya low cost carrier.
Maintennance pesawat di negeri ini seolah merupakan sesuatu yang jadi rahasia umum; bahwa perawatan pesawat kita rendah. Contoh saja pesawat yang biasanya diperiksa kelaikannya dalam waktu tertentu, banyak yang tidak memiliki kelaikan untuk terbang.
Pesawat adalah moda transportasi yang tidak bisa dipelihara tanpa aturan. Ada aturan A Check, B Check dan juga C Check, bahkan overhaul.
Jika mematuhi aturan maintenance yang ada, sebenarnya kecelakaan pesawat -- karena buruknya maintenance -- bisa dibilang hanya faktor takdir. Karena maintenance pesawat adalah hal yang paling utama dalam menentukan kelaikan terbang pesawat. Ibaratnya, maintenance adalah dewa penentu laik atau tidaknya pesawat terbang. Pertanyaannya adalah, apakah para teknisi yang berperan dalam maintenance sudah cukup jujur? Apakah mereka berani berkata bahwa pesawat ini tidak layak untuk terbang? Kadang faktor kejujuran itu tereduksi oleh tuntutan perusahaan yang menghidupi mereka. Sering para teknisi "dipaksa" (baca: terpaksa) untuk membenar-salahkan kebenaran dan menyalah-benarkan kesalahan. Mereka dipaksa menyatakan laik pesawat yang sebenarnya tidak laik.
Secara manusiawi, hal ini sangat tidak bisa diterima. Pemaksaan untuk menyatakan suatu pesawat yang tak laik terbang, menjadi pesawat yang laik terbang tentu akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri teknisi. Hanya, mungkin karena terlalu seringnya terpaksa dan saking terbiasanya, akhirnya rasa bersalah yang semestinya muncul sebagai akibat perasaan nurani, tidak muncul. Awal kesalahan seorang airman adalah ketika ia tidak mempu bersikap kesatria, begitu doktrin yang biasanya diajarkan pada para angkasawan.
Rendahnya ''Airmanship''
Sadar atau tidak, pendidikan yang diterima saat sekolah atau saat mengikuti pelatihan sangatlah penting bagi orang yang berkecimpung di dunia penerbangan. Faktor ini kiranya yang juga bisa memicu meningkatnya jumlah kecelakaan di negeri kita. Kemampuan para airman kita sebenarnya tidak kalah dengan orang asing. Hanya, karena di negara kita fasilitas training yang tidak memadai, mengakibatkan kemampuan airman kita menjadi rendah.
Pilot, misalnya, harus menjalani tes kemampuan dalam simulator setidaknya setahun dua kali untuk kapten dan setahun sekali untuk ko-pilotnya. Hal ini jarang mendapatkan perhatian. Alasannya hampir selalu sama, biayanya mahal. Hal ini jelas mengakibatkan perusahaan yang mempekerjakannya perlu biaya untuk memelihara kemampuan pilot, tentu jika ditilik secara ekonomi, hal ini jelas merugikan. Namun jika kita tinjau dari prosedur dalam dunia penerbangan, pilot memang wajib "difasilitasi" untuk mendapatkan training guna meningkatkan skill-nya. Mahalnya biaya, mungkin juga karena tak ada fasilitas simulator di dalam negeri sehingga pilot harus pergi ke Malaysia atau Tiongkok untuk meng-upgrade kemampuannya.
Sebenarnya visi peningkatan airmanship bukan semata tugas pilot atau teknisi namun juga perusahaannya. Karena airmanship mencakup seluruh aspek orang yang bekerja dalam suatu rangkaian proses dunia penerbangan. Sehingga satu faktor saja yang tidak mendukung maka rangkaian sistem peningkatan airmanship akan gagal. Perusahaan perlu kualitas yang bagus dari awak pesawat, begitu juga awak pesawat perlu suasana kerja yang mendukung, dan kesejahteraan yang laik agar mereka bisa bertugas dengan baik.
Tingginya permintaan akan angkutan udara yang dijawab dengan bermunculannya low cost carrier, secara tidak langsung juga menjadi faktor meningkatnya kecelakaan pesawat. Sudah bukan rahasia lagi, kalau low cost bagi airline bertarif murah di negeri ini berarti "menekan biaya serendah-rendahnya". Hal yang berdampak pada maintenance dan airmanship. Biaya-biaya mengenai safety, yang terkenal mahal "diefisiensi" sehingga menjadi sangat rendah (untuk tidak menyebut zero). Hal ini mengakibatkan pesawat tidak memiliki fasilitas keselamatan yang semestinya.
Frekuensi penerbangan yang tinggi, juga memaksa jam kerja awak pesawat melonjak tajam. Pilot yang semestinya sehari hanya terbang selama maksimal sembilan jam, bisa terbang sampai beberapa belas jam. Padahal itu sangat berbahaya bagi penerbangan. Karena faktor fatigue adalah salah satu hal yang menurunkan skill dari seorang penerbang.
''Zero Accident''
Zero accident atau meminimalisasi insiden yang bisa mengakibatkan aksiden, sering dikampanyekan dalam dunia penerbangan. Zero accident sendiri adalah usaha meminimalisasi kecelakaan. Hal ini dimulai dari maintenance yang baik, iklim kerja yang kondusif dan kemampuan awak yang terpelihara dengan baik. TNI-AU pada era kepemimpinan Marsekal Chappy Hakim pernah mengkampanyekan zero accident secara besar-besaran. Hasilnya, angka kecelakaan di lingkungan TNI-AU kala itu menurun. Hanya, mampukah zero accident diterapkan dalam penerbangan sipil? Tentu perlu kesadaran dari semua pihak untuk menyukseskan program ini.
Setidaknya pemerintah selaku regulator perlu membuat suatu kebijakan guna menerapkan kebijakan zero accident. Karena ketidaktegasan pemerintah selama ini dalam mengambil kebijakan mengakibatkan ketidakadilan di dunia penerbangan. Seorang pilot maskapai swasta pernah berujar, "Keputusan apa pun yang dikeluarkan, kan itu cuma berlaku buat Garuda dan Merpati." Tentu hal ini adalah joke yang sangat menohok. Memang, parameter kita selalu ada pada maskapai-maskapai pelat merah macam Garuda dan Merpati. Tetapi ketika mereka juga ternyata bermasalah, ke mana lagi kita berkaca?
Singapore Airlines, maskapai flag carrier negeri tetangga, terakhir kali mengalami kecelakaan pada 1972. Itu tercatat sebagai kecelakaan pertama bagi launch customer Airbus A-380 ini. Sampai hari ini, belum ada lagi berita Singapore Airlines mengalami kecelakaan. Kontras dengan negeri kita yang kecelakaan pesawat hanya berselang minggu. Seolah setiap bulan memang "wajib" ada kecelakaan pesawat di negeri kita. Jika tak ada perubahan dalam dunia penerbangan kita, zero accident sepertinya hanya menjadi cita-cita besar dunia penerbangan Indonesia.
Penulis, peminat penerbangan, mantan Ketua Saka Dirgantara Bali
-----------------------
Banyak faktor yang mempengaruhi banyaknya kecelakaan yang terjadi. Setidaknya maintenance yang buruk, skill airman atau awak udara yang kurang dan juga maraknya low cost carrier.
Maintennance pesawat di negeri ini seolah merupakan sesuatu yang jadi rahasia umum; bahwa perawatan pesawat kita rendah. Contoh saja pesawat yang biasanya diperiksa kelaikannya dalam waktu tertentu, banyak yang tidak memiliki kelaikan untuk terbang.
Pesawat adalah moda transportasi yang tidak bisa dipelihara tanpa aturan. Ada aturan A Check, B Check dan juga C Check, bahkan overhaul.
Jika mematuhi aturan maintenance yang ada, sebenarnya kecelakaan pesawat -- karena buruknya maintenance -- bisa dibilang hanya faktor takdir. Karena maintenance pesawat adalah hal yang paling utama dalam menentukan kelaikan terbang pesawat. Ibaratnya, maintenance adalah dewa penentu laik atau tidaknya pesawat terbang. Pertanyaannya adalah, apakah para teknisi yang berperan dalam maintenance sudah cukup jujur? Apakah mereka berani berkata bahwa pesawat ini tidak layak untuk terbang? Kadang faktor kejujuran itu tereduksi oleh tuntutan perusahaan yang menghidupi mereka. Sering para teknisi "dipaksa" (baca: terpaksa) untuk membenar-salahkan kebenaran dan menyalah-benarkan kesalahan. Mereka dipaksa menyatakan laik pesawat yang sebenarnya tidak laik.
Secara manusiawi, hal ini sangat tidak bisa diterima. Pemaksaan untuk menyatakan suatu pesawat yang tak laik terbang, menjadi pesawat yang laik terbang tentu akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri teknisi. Hanya, mungkin karena terlalu seringnya terpaksa dan saking terbiasanya, akhirnya rasa bersalah yang semestinya muncul sebagai akibat perasaan nurani, tidak muncul. Awal kesalahan seorang airman adalah ketika ia tidak mempu bersikap kesatria, begitu doktrin yang biasanya diajarkan pada para angkasawan.
Rendahnya ''Airmanship''
Sadar atau tidak, pendidikan yang diterima saat sekolah atau saat mengikuti pelatihan sangatlah penting bagi orang yang berkecimpung di dunia penerbangan. Faktor ini kiranya yang juga bisa memicu meningkatnya jumlah kecelakaan di negeri kita. Kemampuan para airman kita sebenarnya tidak kalah dengan orang asing. Hanya, karena di negara kita fasilitas training yang tidak memadai, mengakibatkan kemampuan airman kita menjadi rendah.
Pilot, misalnya, harus menjalani tes kemampuan dalam simulator setidaknya setahun dua kali untuk kapten dan setahun sekali untuk ko-pilotnya. Hal ini jarang mendapatkan perhatian. Alasannya hampir selalu sama, biayanya mahal. Hal ini jelas mengakibatkan perusahaan yang mempekerjakannya perlu biaya untuk memelihara kemampuan pilot, tentu jika ditilik secara ekonomi, hal ini jelas merugikan. Namun jika kita tinjau dari prosedur dalam dunia penerbangan, pilot memang wajib "difasilitasi" untuk mendapatkan training guna meningkatkan skill-nya. Mahalnya biaya, mungkin juga karena tak ada fasilitas simulator di dalam negeri sehingga pilot harus pergi ke Malaysia atau Tiongkok untuk meng-upgrade kemampuannya.
Sebenarnya visi peningkatan airmanship bukan semata tugas pilot atau teknisi namun juga perusahaannya. Karena airmanship mencakup seluruh aspek orang yang bekerja dalam suatu rangkaian proses dunia penerbangan. Sehingga satu faktor saja yang tidak mendukung maka rangkaian sistem peningkatan airmanship akan gagal. Perusahaan perlu kualitas yang bagus dari awak pesawat, begitu juga awak pesawat perlu suasana kerja yang mendukung, dan kesejahteraan yang laik agar mereka bisa bertugas dengan baik.
Tingginya permintaan akan angkutan udara yang dijawab dengan bermunculannya low cost carrier, secara tidak langsung juga menjadi faktor meningkatnya kecelakaan pesawat. Sudah bukan rahasia lagi, kalau low cost bagi airline bertarif murah di negeri ini berarti "menekan biaya serendah-rendahnya". Hal yang berdampak pada maintenance dan airmanship. Biaya-biaya mengenai safety, yang terkenal mahal "diefisiensi" sehingga menjadi sangat rendah (untuk tidak menyebut zero). Hal ini mengakibatkan pesawat tidak memiliki fasilitas keselamatan yang semestinya.
Frekuensi penerbangan yang tinggi, juga memaksa jam kerja awak pesawat melonjak tajam. Pilot yang semestinya sehari hanya terbang selama maksimal sembilan jam, bisa terbang sampai beberapa belas jam. Padahal itu sangat berbahaya bagi penerbangan. Karena faktor fatigue adalah salah satu hal yang menurunkan skill dari seorang penerbang.
''Zero Accident''
Zero accident atau meminimalisasi insiden yang bisa mengakibatkan aksiden, sering dikampanyekan dalam dunia penerbangan. Zero accident sendiri adalah usaha meminimalisasi kecelakaan. Hal ini dimulai dari maintenance yang baik, iklim kerja yang kondusif dan kemampuan awak yang terpelihara dengan baik. TNI-AU pada era kepemimpinan Marsekal Chappy Hakim pernah mengkampanyekan zero accident secara besar-besaran. Hasilnya, angka kecelakaan di lingkungan TNI-AU kala itu menurun. Hanya, mampukah zero accident diterapkan dalam penerbangan sipil? Tentu perlu kesadaran dari semua pihak untuk menyukseskan program ini.
Setidaknya pemerintah selaku regulator perlu membuat suatu kebijakan guna menerapkan kebijakan zero accident. Karena ketidaktegasan pemerintah selama ini dalam mengambil kebijakan mengakibatkan ketidakadilan di dunia penerbangan. Seorang pilot maskapai swasta pernah berujar, "Keputusan apa pun yang dikeluarkan, kan itu cuma berlaku buat Garuda dan Merpati." Tentu hal ini adalah joke yang sangat menohok. Memang, parameter kita selalu ada pada maskapai-maskapai pelat merah macam Garuda dan Merpati. Tetapi ketika mereka juga ternyata bermasalah, ke mana lagi kita berkaca?
Singapore Airlines, maskapai flag carrier negeri tetangga, terakhir kali mengalami kecelakaan pada 1972. Itu tercatat sebagai kecelakaan pertama bagi launch customer Airbus A-380 ini. Sampai hari ini, belum ada lagi berita Singapore Airlines mengalami kecelakaan. Kontras dengan negeri kita yang kecelakaan pesawat hanya berselang minggu. Seolah setiap bulan memang "wajib" ada kecelakaan pesawat di negeri kita. Jika tak ada perubahan dalam dunia penerbangan kita, zero accident sepertinya hanya menjadi cita-cita besar dunia penerbangan Indonesia.
Penulis, peminat penerbangan, mantan Ketua Saka Dirgantara Bali
lelaki dari masa lalu
Aku sudah menyusuri setiap detik-detik waktuhampir bermilyar detik kulalui tanpa bayanganmusudah beribu khayalku yang terhempas oleh kenyataanaku hanya bisa bersandar pada bayanganmuaku tak bisa untuk sekedar berharap padamukarena aku hanyalah sebuah sejarahaku hanya masa laluyang terlalu pahit untu dikenangaku hanyalah sejarah perihyang kau hempaskan dari catatan hidupmu
Sebuah prakata
katakan apa yang kamu pikirkan, tuliskan apa yang kamu katakan, dan kerjakan semuanya
itu adalah Pesan Ida Pedanda Sebali Tianyar pada setiap Parpol yang punya hajatan di Bali dan beliau diundang ke acara tersebut.
maka kalau agama yang saya anut adalah Islam dimana wahyu pertama memerintahkan "IQRA", maka perlu ada sesuatu untuk di "Iqra"
itu adalah Pesan Ida Pedanda Sebali Tianyar pada setiap Parpol yang punya hajatan di Bali dan beliau diundang ke acara tersebut.
maka kalau agama yang saya anut adalah Islam dimana wahyu pertama memerintahkan "IQRA", maka perlu ada sesuatu untuk di "Iqra"
Langganan:
Komentar (Atom)
