Sabtu, 30 Agustus 2008

SEPARATISME EMOSIONAL

Sebuah polisi tidur menuju Mushalla Umar Bin Khattab di Kawasan JImbaran menjelang ashar nampak berbeda, sebuah polisi tidur itu nampak tergores dengan beberapa goresan. Kalau mau jujur isi goresan itu mengandung sesuatu yang semestinya tidak terpampang di muka khalayak walaupun itu mungkin yang dirasa si empunya goresan.

"Dibikin orang Jawa", begitu kalimat itu terpahat dalam polisi tidur yang membentang di jalan kecil menuju mushalla. Suatu ketika saat bom baru saja meledak, polisi adat ala bali yang dikenal dengan pecalang mengadakan razia terhadap para pedagang keliling. Kembali miris rasanya hati ini, "Kamu Jangan ngebom ya!"bentaknya. KIsah yang hampir sama juga pasca bom, hampir pada sepanjang jalan yang biasanya saya dengan mudah temukan warung sari laut khas lamongan, namun kini semua berubah.
Semua warung sari laut itu berganti menjadi "warung sari laut surabaya" atau warung sari laut saja. What happen to Lamongan?. Jelas buat sebagian kalangan di Bali, kata lamongan bakal mengingatkan pada Am rozi, smiling bomber van lamongan.
TAdinya saya pikir itu strategi bisnis semata, namun setelah saya mencoba bertanya pada para pedagang itu hampir semua menjawab seragam : "Takut di cap teroris".
Saya mulai mengingat lagi lembaran sejarah bangsa ini, memang bangsa kita yang heterogen ini punya bakat-bakat perpecahan alias disintegrasi. Tengoklah potret ini: Di JAwa barat, hampir tidak ada jalan yang bernama Gajah Mada, khususnya di Bandung, kiblat budaya sunda. Hal yang sama juga saya dapati di Mojokerto, dimana seorang kawan saya pernah dilarang masuk Unpad oleh orang tuanya lantaran alasan :itu bukan tempat kita.
JIka mengingat masa silam, memang antara sunda dan Jawa punya hubungan masa lalu yang suram. Apalagi kalau bukan Perang Bubat, perang kontroversial yang sampai hari ini tak ada satu sumber pun yang dianggap valid.
Orang sunda bahkan hampir selamanya akan menganggap orang jawa itu pengecut, penipu dan tamak. Lantaran dianggap berusaha menaklukan kerajaan sunda dengan cara yang tak ksatria, menyerang rombongan pengantin Dyah PItaloka. Karenanya jika ada kenalan anda yang memegang tradisi sunda tulen, tanyakan padanya akan "Esti larangan ti Kaluaran". Sebuah karma sejarah lantaran politik masa lalu yang tak berujung pangkal.
Bagi orang Jawa, bubat memang tak begitu berdampak besar, setidaknya generasi sekarang sudah banyak yang melupakannya. Namun tetap saja, bagi sebagian orang di Mojokerto yang konon merupakan tempat dimana Majapahit berdiri, berkeluarga dengan orang sunda adalah sebuah pantangan.
Nah, itu baru konflik dua suku besar. belum lagi konflik-konflik lainnya yang bernuansa etnis dan kadang agama. Seolah bangsa kita ini sudah tak lagi sadar merah putih. tak lagi sadar bahwa mereka satu.
Karena memang bhineka tunggal ika itu cuma slogan, yang bahkan tak satupun pemerintahan yang pernah berdiri di republik ini mampu menerapkannya dengan baik. Jadilah kita terpecah-pecah, setidaknya dalam perasaan.
Inilah yang saya sebut separatisme emosional, dimana secara emosional disintegrasi itu justru ada dan jauh lebih berbahaya.Ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam hal yang sangat sempit dan kecil sekalipun. IA justru menjadi ancaman, karena dipendam.
Sesuatu yang dipendam biasanya jika mencapai kulminasi akan meledak dengan sontak. Lihat potret kalimantan yang tercabik. Itulah potret kecil pendaman amarah yang bernama separatisme emosional.
Parahnya lagi, sebuah hukum tak tertulis yang dipaksakan dianggap tak terbantahkan di dalam tata negara kita.PRESIDEN ORANG JAWA DAN WAPRES LUAR JAWA. Sebuah adagium yang sok historis. Karena menganggap dwi tunggal pertama yakni Soekarno Hatta adalah pakem dalam tampuk kekuasaan.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap, ada orang seperti Natsir yang dengan mosi integralnya mampu menyatukan Indonesia, namun lebih dari itu menyatukan perasaan bangsa Indonesia. karena separatisme emosional lebih berbahaya dari separatisme teritorial.

Senin, 25 Agustus 2008

Cerpen renungan "Pemimpin"

PEMIMPIN
Cerpen Putu WijayaCemas karena anak-anak sekarang mulai apatis, tidak punya cita-cita, saya bertanya kepada cucu saya.''Agus, nanti kalau sudah besar kau mau jadi apa?''Cucu saya dengan tegas menjawab, ''Mau jadi pemimpin.''Saya tertegun. Bangga karena penerus saya punya cita-cita besar. Perkara bisa kejadian atau hanya sekadar mengkhayal, tidak apa. Punya impian paling tidak membuat ada arah yang pasti di tengah kebingungan dunia yang edan ini.''Jadi pemimpin?''''Ya! Memang kenapa?''''Tidak apa-apa. Semua cita-cita itu baik. Tapi kenapa kamu mau jadi pemimpin?''Agus kontan menjawab seakan-akan pertanyaan itu sudah lama ditunggunya.''Karena aku sudah bosan diperintah. Disuruh bangun pagi. Disuruh sekolah. Disuruh belajar. Disuruh nganterin pergi belanja. Disuruh ikut arisan. Disuruh nemenin kalau ada resepsi pernikahan. Disuruh jaga rumah. Disuruh anteng kalau ada tamu. Capek ah! Sekarang aku mau memerintah!''''O jadi kamu pikir pemimpin itu tukang ngasih perintah?''''Bukan tukang perintah doang, tukang larang juga! Tidak boleh begadang, tidak boleh keluar malam! Tidak boleh ngomong jorok! Tidak boleh main motor. Tidak boleh cemberut kalau ada tamu! Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh! Ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya tidak boleh! Capek deh!''''Itu artinya kamu mau bebas?!''''Persis!''Saya bengong.''Kamu pikir pemimpin itu raja bebas?''''Ya dong! Kalau tidak bebas itu bukan pemimpin.''''Salah! Pemimpin itu justru orang yang paling tidak bebas. Buat seorang pemimpin tidak ada hari Minggu, tidak ada hari libur, semua hari adalah kerja!''''Itu pemimpin yang goblok!''''Agus ... ''''Kalau rakyat antre beli minyak tanah, pemimpin tinggal makan saja, yang masak kan rakyat. Masak pemimpin masak sendiri. Kalau rakyat tidak boleh masuk jalan bebas kendaraan bermotor, pemimpin bablas saja nggak ada yang berani larang. Kalau rakyat dibakar karena maling ayam, pemimpin yang makan uang rakyat triliunan diampuni dan dijadikan pahlawan. Kalau rakyat ketiduran waktu kerja dipecat, tapi pemimpin main SMS dan ngorok, yang selingkuh pada jam kerja, malah jadi selebriti! Masak Kakek tidak tahu?''Saya mau menjawab tapi Agus langsung angkat tangan.''Stop jangan ceramah, aku ada pekerjaan yang lebih penting!''''Apa?''Cucu saya langsung meloncat ke dekat TV. Sebab jam menunjukkan pukul 5. Itu jatahnya untuk main PS2 sampai pukul 6.Saya hanya bisa mengurut dada. Berdebat dengan cucu tidak mungkin. Saya kira kunci konsleting itu pada orang tuanya. Anak saya dan mantu saya hampir tak pernah ada di rumah. Keduanya sibuk. Saya hampir tidak mengerti, apa gunanya rumah kalau mereka lebih banyak tidur di hotel karena ikut seminar dan rapat-rapat yang tidak satu pun yang tidak penting.Saya kira mereka sudah jarang tidur bersama. Mungkin itu sebabnya Agus tidak punya adik lagi. Kalau sudah sampai di situ, saya tambah bingung. Pernikahan sekarang memang beda dengan zaman saya dulu. Dulu pernikahan adalah mencari teman tidur. Untuk berbagi suka-duka bersama. Sekarang perkawinan seperti mendirikan PT, untuk mengumpulkan duit.Memang cucu saya jadi tidak kekurangan apa pun. Segala fasilitas yang dia butuhkan ada, karena penghasilan anak saya dan istrinya berkelebihan. Sekolah cucu saya juga lebih mahal dari sekolah kedokteran. Tapi begitulah, keduanya tidak pernah ada waktu mendampingi anaknya berkembang. Akibatnya cucu saya menderita kemiskinan jiwa.Lalu saya minta waktu untuk bicara pada anak saya. Saya jelaskan bagaimana bahayanya membiarkan anak berkembang sendirian. Sekolah mahal, segala fasilitas melimpah, tidak cukup untuk menggantikan kasih-sayang yang hilang, karena anak tidak bisa tumbuh tanpa doping kasih-sayang orang tua.''Kurangi sedikit aktivitas kalian. Beri waktu sedikit saja buat Agus,'' kata saya.Anak saya, juga mantu saya, paham apa yang saya katakan. Mereka kemudian mencoba untuk menyediakan waktu buat Agus. Tapi apa yang terjadi. Pertengkaran.Agus merasa tersiksa. Gerak-geriknya yang diawasi dengan berbagai halangan, membuat dia senewen. Rumah dirasanya menjadi neraka. Orang tuanya juga kaget dan merasa Agus tidak mampu untuk mempergunakan kebebasan. Lalu Agus dimasukkan ke dalam asrama.Sejak itu saya yang kehilangan. Buat lelaki tua yang tak punya rencana lagi, cucu adalah segala-galanya. Memiliki cucu lebih dari memiliki anak, kebahagiaannya bertumpuk. Kehadiran seorang cucu adalah jaminan dada lapang, karena tahu riwayat kita akan berkelanjutan, walaupun nanti kita sudah tak hadir lagi.Saya mencoba untuk bertahan. Rasa sepi itu saya injak. Pagi hari, saya kehilangan burung yang menyanyi. Siang hari, berjam-jam waktu lambat berjalan, sehingga saya jadi kelimpungan. Tidur bosan. Nonton televisi menyebalkan. Ngobrol sama istri, nenek cucu saya, menjengkelkan. Semua omongannya sudah saya tahu, seperti juga sudah saya hapal seluruh lekuk tubuhnya termasuk jumlah tai lalatnya.Malam hari saya tak bisa tidur. Saya coba jalan-jalan keluar rumah. Tapi baru satu kali, saya langsung masuk angin. Istri saya marah-marah dan menuduh saya sedang memasuki puber keempat. Nggak akan ada artis yang mau sama tua bangka seperti kamu lagi, biar pun duit kamu segepok, katanya, sehingga saya malu.Akhirnya saya mulai menghibur diri dengan ngomong sendiri. Dan ini membuat saya dibawa ke seorang psikolog. Untung dokter lulusan Jerman itu pintar. Dia tidak memberikan nasehat supaya saya kawin lagi. Dia hanya minta cucu saya ditarik dari asrama. Karena dia menyimpulkan bahwa jiwa saya sudah terganggu kehilangan sebuah cahaya hati.Tapi anak saya tidak peduli. Buat dia lebih penting anaknya aman. Saya, bapaknya, mungkin dianggap sepeda tua, karatan juga biarin saja. Cucu saya tetap di asrama. Hanya sebulan sekali boleh pulang untuk mengobati rindu saya. Apa boleh buat. Negosiasi yang tidak terlalu menguntungkan itu terpaksa saya terima juga.Ketika cucu saya pulang pertama kali, saya limpahi dia dengan seluruh kerinduan. Saya berikan dia hadiah yang selalu dirindukannya, tapi tak pernah dikabulkan oleh orang tuanya. Sebuah motor balap.Agus senang sekali. Dia memeluk saya, sehingga saya merasa hidup lagi. Dipeluk oleh cucu seribu kali lebih nikmat dari dipeluk oleh istri yang memeluk karena tugas. Agus langsung terbang ke sana-kemari dengan motor itu. Hati saya rasanya pecah karena melihat kegembiraannya. Rumah kembali nyaman. Dan saya ingin hari lebih panjang. Makanan yang selalu saya kutuk saya kecap. Tidur pun jadi asyik.Tapi itu hanya satu hari. Motor cucu saya ditemukan ringsek diinjak truk. Untung truk itu sedang berhenti. Rupanya ada yang mencoba untuk meniru kelakuan jagoan dalam film yang nyerosot menerobos bawah truk sambil memiringkan kendaraannya.''Untung Agus tidak apa-apa, hanya motornya saja yang hancur!'' kata istri saya menyumpahi perbuatan saya yang dianggapnya sebagai dosa tak berampun itu.Saya tidak bisa memberikan pembelaan. Meskipun yang mengendarai motor itu bukan Agus tapi kawannya. Artinya peristiwa itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan Agus. Juga tidak bisa dianggap sebagai contoh bahwa Agus memang tidak pantas naik motor. Contoh itu justru penting untuk menjelaskan pada Agus bahwa naik motor itu berbahaya bagi orang yang tidak terlatih. Jadi dia tidak akan naik motor karena dilarang, tapi karena memang dia mengerti dia tidak siap.Sejak itu Agus tidak pulang lagi. Kalau liburan, orang tuanya menjemput. Lalu mereka keluar kota berlibur. Saya tidak diberi kesempatan dekat lagi dengan cucu karena dianggap berbahaya. Itu berlangsung cukup lama. Tapi untunglah saya tidak jadi gila karena itu. Karena perlahan-lahan kemudian saya mengalihkan perhatian saya pada istri saya. ''Ternyata manusia itu bukan besi tua, tapi tape yang makin matang makin menendang,'' kata saya.''Maksudmu siapa?''''Kamu!''Meskipun itu hanya rayuan gombal, ternyata istri saya senang. Dan itu memperbaiki hubungan kami menjadi segar lagi setelah bertahun-tahun terasa hambar. Aneh, meskipun dia sudah tua, tapi kalau diperhatikan sebenarnya dia masih menarik. Bahkan kemudian saya tahu bahwa dia masih tetap romantis.*** Beberapa tahun kemudian, ketika cucu saya lulus SMA saya kembali bertanya-tanya. Saya cemas, karena di depannya sekarang terbentang banyak jalan yang harus dipilih dengan tepat. Salah pilih resikonya berat.''Sebelum memastikan kamu mau melanjutkan ke mana, kamu harus tentukan dulu sebenarnya kamu mau jadi apa, Agus?''Cucu saya yang sudah mulai pakai kumis menjawab tanpa ragu-ragu.''Aku ingin jadi pemimpin.''''Lho, itu kan cita-citamu yang dulu?''''Memang!''''Kenapa?''''Sebab pemimpin itu punya banyak fasilitas yang tidak dimiliki orang biasa!''''Fasilitas?''''Ya! Kemudahan-kemudahan. Rumah, kendaraan, keamanan, kesejahteraan, semuanya dicukupi. Tidak perlu memikirkan apa-apa, semuanya sudah ada. Masak pemimpin naik angkot? Paling sedikit Mercy. Ngapain naik bus, pasti naik kapal terbang dan mesti kelas satu. Masak pemimpin ngontrak rumah, pasti rumah bertingkat dengan taman dan penjaga dan pengawalan kalau lagi jalan. Masak pemimpin makan nasi kucing, pasti steak sirloan. Masak pemimpin gajinya sama dengan tukang ojek, paling sedikit 45 juta satu bulan, belum lagi uang sidang dan berbagai fasilitas plus kemudahan lain. Belum lagi hadiah-hadiah, sumbangan, kado, bingkisan dari masyarakat dan para konglomerat yang mendukung,. Paling sedikit kunci mobil yang harganya 3 miliar.''Saya tercengang.''Lho kamu pikir pemimpin itu seperti itu?''''Lebih dari itu, Kek!''''Masak?''''Ya! Lihat saja pemimpin-pemimpin itu. Pasti kaya. Mobilnya paling sedikit 5. Rumahnya di mana-mana. Padahal gajinya kecil. Berapa sih? Tapi kenapa bisa punya hotel, perkebunan, saham, pabrik, puluhan perusahaan?''Saya mulai marah. Jelek-jelek saya juga pernah jadi pemimpin. Minimal saya menjabat RT selama 30 tahun di pemukiman kami dulu.''Pemimpin itu tidak begitu!''''Memang tidak! Pemimpin itu abdi masyarakat. Aturannya dia orang kelas dua, karena dia hanya mewakili rakyat. Wakil kan orang suruhan. Tapi kalau orang datang maksa-maksa ngasih kunci mobil, kunci rumah, ngasih duit segepok bahkan ngasih perempuan, bagaimana bisa menolak? Orang bisa tersinggung, terhina, marah kalau ditolak mentah-mentah. Jadi pemimpin harus bisa memuaskan hati rakyat. Bukan hanya rakyat yang memerlukan sandang-pangan, juga rakyat yang kelebihan dan ingin memberi. Ya kan, Kek?''Saya mau membantah. Tiba-tiba cucu saya mengulurkan sebuah kotak kecil.''Apa itu?''''Hadiah buat ulang pernikahan Kakek dan Nenek. Agus beli dengan uang tabungan Agus sendiri.''Cucu saya kemudian membuka kotak itu. Istri saya yang nyamperin ketika melihat cucunya mengulurkan sebuah kotak, menjerit.''Berlian!''''Ya. Ini kalung berlian untuk Nenek dan jam tangan untuk Kakek!''Sebelum saya bisa menjawab, istri saya sudah langsung menyambut kotak itu dan memeluk cucunya. Lalu ia terbang ke tetangga untuk menyiarkan kebanggaannya mendapat hadiah berlian dari cucu, walaupun saya yakin berlian itu palsu.''Kakek boleh menolak kalau berani,'' kata Agus.Saya tidak bisa menjawab. Saya mengerti apa yang hendak dikatakan oleh cucu saya. Bagaimana saya akan bisa menolak, kalau istri saya, neneknya itu, begitu bangga dengan pemberian itu.Saya lupakan saja soal berlian itu. Kalau Agus memang mau jadi pemimpin, ya sudah jadiin saja. Saya mendukungnya. Siapa tahu dia akan menjadi pemimpin yang lain. Pemimpin yang berbeda dari pemimpin-pemimpin yang selama ini kita sesali.Dengan sungguh-sungguh saya ikuti sepak terjang Agus dari jauh. Sekolahnya melaju dengan bagus. Akibat tempaan asrama yang ketat, dia menjadi gigih dan berdisiplin. Tidak jauh dari target yang sudah tersedia, dia bisa menyelesaikan pendidikan tingginya dengan baik. Tidak istimewa, tetapi dia lulus tepat pada waktunya.Agus langsung bekerja. Di samping itu seperti juga orang tuanya, ia aktip berorganisasi. Dalam waktu yang pendek, karirnya menanjak. Kemudian dengan tidak terasa, ia mulai mendapat jabatan penting. Lalu akhirnya pegang pucuk pimpinan.Agus yang nakal itu kini sudah jadi orang. Ia menikah dengan seorang bekas Ratu Dangdut. Kehidupan keluarganya serasi. Anaknya sudah dua. Namanya bagus. Masyakat mencintainya. Dia benar-benar memenuhi hasratnya untuk menjadi seorang pemimpin.Itulah saatnya saya kembali bertanya. Lalu saya mencari kesempatan baik dan bicara dari hati ke hati.''Agus,'' kata saya dengan blak-blakan, ''sebagai lelaki dengan lelaki, Kakek ingin bicara terus-terang kepada kamu sekarang.''''Apa yang bisa saya bantu, Kek?''''Tidak. Kakek tidak minta dibantu. Kakek hanya mau bertanya. Sekarang kamu sudah jadi pemimpin.''''Ya lebih kurang begitu kata orang.''''Itu berarti kamu sudah mencapai cita-citamu.''''Ya, bisa dikatakan begitu.''''Jangan menjawab dengan: bisa dikatakan begitu. Yang tegas saja. Memang kamu sudah mencapai cita-citamu jadi pemimpin. Betul tidak?''''Ya, betul tapi mungkin tidak seperti Kakek bayangkan.''''Maksudmu?''''Saya memang seorang pemimpin sekarang.''''Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang pernah kamu rindukan dulu kan?!''Agus tersenyum.''Betul.''''Tidak ada yang memerintah kamu lagi. Karena kamulah yang memberikan perintah?!''''Ya memang.''''Kamu dapatkan banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Orang antre mau beli karcis Java Jazz, nabung untuk beli karcis Lionel Richie, setumpukan karcis diantarkan kepada kamu dengan jemputan mobilnya sekalian. Betul?''Agus ketawa.''Betul.''''Orang kepingin punya perusahaan untuk jaminan masa tua, tapi pengusaha malah datang kepada kamu dan minta kamu jadi Presdir perusahaan penerbangan baru. Betul?''Agus mengangguk.''Betul.''Saya tertawa, karena si Agus cucu saya tidak bisa membantah. Saya juga bangga, sebab apa yang dilamunkannya sudah jadi kenyataan. Itu tidak akan terjadi kalau dia tidak ampuh dan hebat.''Kakek bangga karena kamu tidak hanya mimpi dan melamun tapi bekerja nyata!''Agus ketawa.''Terima kasih, Kek. Memang betul apa yang Kakek bilang. Tapi terus-terang, cara Kakek melihat itu tidak adil.''''Maksudmu?''''Ya Kakek menceritakan semua itu seperti menceritakan tentang orang yang mendaki Gunung Himalaya, lalu menancapkan bendera di puncaknya.''''Tapi memang begitu kan? Kamu seorang pendaki gunung yang sukses!''Muka Agus tiba-tiba murung.''Seorang pemimpin tidak sama dengan pendaki gunung yang sukses, Kek. Kelihatannya memang sama, tapi beda. Pendaki gunung setelah sukses tinggal menikmati prestasinya. Tapi seorang pemimpin?''''Sama kan?''''Tidak. Sesudah menjadi pemimpin, aku tidak bisa lagi menjadi Agus, cucu Kakek. Aku harus memimpin. Aku harus bertanggung jawab terhadap segala hal. Bahkan terhadap semua kekeliruan dan dosa-dosa orang lain yang menjadi tanggung jawabku. Aku harus mengurus banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan aku. Aku tidak punya hak untuk tertawa, tersenyum, apalagi tidur seperti manusia biasa. Aku sudah jadi mesin, robot, bulan-bulanan dan tong sampah. Ada ayam mati juga aku yang ditoleh dan ditanya kenapa? Ada orang kejepit juga aku yang disalahkan, sebab di puncak segala-galanya aku yang harus bertanggung jawab.''Agus berhenti bicara dan menahan dirinya, sebab kelihatannya semua mau tumpah. Aku belum pernah melihat dia curhat dan menderita seperti itu.''Aku sudah mati, Kek.''Saya tercengang. Ketika ingin menjawab untuk menghiburnya, tiba-tiba HP dan telepon bunyi bareng. Agus cepat menggapai. Mukanya langsung pucat. Lalu ia berdiri.''Maaf Kek, aku terpaksa pergi. Anak buahku ada yang tertangkap oleh KPK, kasus penyuapan uang negara puluhan miliar. Nanti kita lanjutkan!''Saya tidak bisa bilang apa-apa. Tiba-tiba segala kebanggaan saya rontok. Hati saya terenyuh melihat cucu saya sudah dijadikan mayat seperti itu. Pasti itu kesalahan anak buahnya, tetapi kalau ada apa-apa dia yang akan diseret, karena dialah puncak yang tertinggi.Di tempat tidur, saya sampaikan semua itu pada istri saya. Perempuan tua itu tak jadi ngorok. Matanya nyap-nyap sepanjang malam. Kami terkenang pada masa lalu. Teringat Agus yang nakal, tetapi ceria dan hidup. Kini cucu kami sudah begitu jauh di awang-awang dan menggelepar tak berdaya karena terikat oleh begitu banyak tanggung jawab.''Kita tidak bisa membiarkan cucu kita mati,'' kata istri saya.''Ya. Untuk apa jadi pemimpin, kalau harus mati.''''Kalau begitu suruh dia berhenti dan jadi orang biasa saja. Yang penting dalam hidup ini kan kebahagiaan. Buat apa mendapat fasilitas dan bisa memerintah kalau tidak bahagia?''''Betul sekali!''Kemudian saya mencari kesempatan yang tepat untuk bicara hati ke hati lagi dengan Agus. Lama sekali baru kesampaian. Walaupun dia cucu saya, tapi sejak jadi pemimpin, dia memang sudah seperti orang lain yang jaraknya ribuan kilometer.''Agus, Kakek sudah berembuk dengan Nenek. Setelah kami pertimbangkan masak-masak, melihat keadaanmu serta mendengarkan semua penderitaan yang harus kamu tanggung sebagai pemimpin, kami mendesak, lebih baik kamu berhenti. Kami lebih senang kamu tetap hidup daripada menjadi pemimpin, tapi mati.''Agus tersenyum.''Terima kasih, Kek. Aku juga sudah berusaha, tapi tidak bisa.''''Tidak bisa? Apa susahnya berhenti?''''Tidak bisa, Kek.''''Ah, jangan bilang, tidak ada yang tidak bisa mengganti. Lihat di sekitarmu, mereka antre seabrek-abrek bahkan gontok-gontokan untuk mengganti, kalau kamu mau mundur.''''Itu betul.''''Makanya berhenti saja!''''Tidak bisa, Kek!''''Kenapa?''Agus tersenyum pahit.''Kenapa?''''Karena, meskipun mati, jadi pemimpin itu ternyata enak, Kek.'' ***Astya Puri, 30 April 2008

Sabtu, 23 Agustus 2008

PERANG BUBAT; WHY SUNDA HATE THEIR EAST BROTHER

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Rencana pernikahan
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]
Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kesalah-pahaman
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Siapa Wibisana????

Wibisana (Sanskerta: विभीषण, Vibhīshaṇa) adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana. Wibisana merupakan putera bungsu dari Resi Wisrawa, putera Resi Pulatsya, dengan seorang puteri Detya bernama Kekasi. Wibisana memiliki tiga saudara kandung, bernama Rahwana, Kumbakarna, dan Surpanaka. Di antara saudaranya, Wibisana adalah anak yang paling baik. Sifatnya tidak seperti rakshasa pada umumnya meskipun ia merupakan keturunan rakshasa. Karakternya mirip dengan Prahlada yang dilahirkan sebagai keturunan asura, namun menjadi pemuja Wisnu yang setia.

Kepribadian
Wibisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Wisnu. Ketika Rahwana dan Kumbakarna bertapa memuja Brahma, Wibisana juga berbuat demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Wibisana untuk memohon anugerah, Wibisana meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau dharma. Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para dewa.

Peran di Alengka
Dalam kisah Ramayana, setelah gagal membujuk kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Wibisana memutuskan untuk berpihak pada Rama yang diyakininya sebagai pihak yang benar. Hal ini berarti dia harus melawan kakaknya sendiri (Rahwana) demi membela kebenaran. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbakarna (yang juga masih saudara kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela tanah air, walaupun menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah. Wibisana merupakan tokoh yang menunjukkan bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan ikatan persaudaraan.

Wibisana memihak Rama
Karena merasa tidak mendapat tempat di Alengka, Wibisana pergi bersama empat rakshasa yang baik dan menghadap Rama. Dalam perjalanan ia dihadang oleh Sugriwa, raja wanara yang mencurigai kedatangan Wibisana dari Alengka. Setelah Rama yakin bahwa Wibisana bukan orang jahat, Wibisana menjanjikan persahabatan yang kekal. Dalam misi menghancurkan Rahwana, Wibisana banyak memberi tahu rahasia Alengka dan seluk-beluk setiap rakshasa yang menghadang Rama dan pasukannya. Wibisana juga sadar apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan wanara, dan melaporkannya kepada Rama. Saat pasukan wanara berhasil dikelabui oleh Indrajit, Wibisana adalah orang yang tanggap dan mengetahui akal Indrajit yang licik.
Ketika Kumbakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Wibisana memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Rama mengabulkan dan mempersilakan Wibisana untuk bercakap-cakap sebelum pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbakarna, Wibisana memohon agar Kumbakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh. Wibisana juga pasrah apabila Kumbakarna hendak membunuhnya. Melihat ketulusan adiknya, Kumbakarna merasa terharu. Kumbakarna tidak menyalahkan Wibisana sebab ia berbuat benar. Kumbakarna juga berkata bahwa ia bertempur karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya sendiri. Setelah bercakap-cakap, Wibisana mohon pamit dari hadapan Kumbakarna dan mempersilakannya maju untuk menghadapi Rama.

[Raja Alengka
Setelah Kumbakarna dan Rahwana dibunuh oleh Rama, Wibisana dan para sahabatnya menyelenggarakan upacara pembakaran yang layak bagi kedua ksatria tersebut. Kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Alengka yang sah. Ia merawat Mandodari, janda yang ditinggalkan Rahwana, dan hidup bersama dengan permaisurinya yang bernama Sarma. Wibisana memerintah Alengka dengan bijaksana. Ia mengubah Alengka menjadi kota yang berlandaskan dharma dan kebajikan, setelah sebelumnya rusak karena pemerintahan Rahwana.

''Zero Accident'' cuma Mimpi

INDUSTRI penerbangan di negeri kita tak ubahnya industri pencetak maut. Belum reda tangis keluarga korban Adam Air Flight KI 574, sekarang pesawat Garuda Indonesia yang notabene flag carrier -- yang standar perawatannya termasuk terbaik di Indonesia -- juga celaka. Sebegitu suramkah dunia dirgantara kita? Atau memang segalanya adalah takdir yang tak bisa kita tolak?
-----------------------
Banyak faktor yang mempengaruhi banyaknya kecelakaan yang terjadi. Setidaknya maintenance yang buruk, skill airman atau awak udara yang kurang dan juga maraknya low cost carrier.
Maintennance pesawat di negeri ini seolah merupakan sesuatu yang jadi rahasia umum; bahwa perawatan pesawat kita rendah. Contoh saja pesawat yang biasanya diperiksa kelaikannya dalam waktu tertentu, banyak yang tidak memiliki kelaikan untuk terbang.
Pesawat adalah moda transportasi yang tidak bisa dipelihara tanpa aturan. Ada aturan A Check, B Check dan juga C Check, bahkan overhaul.
Jika mematuhi aturan maintenance yang ada, sebenarnya kecelakaan pesawat -- karena buruknya maintenance -- bisa dibilang hanya faktor takdir. Karena maintenance pesawat adalah hal yang paling utama dalam menentukan kelaikan terbang pesawat. Ibaratnya, maintenance adalah dewa penentu laik atau tidaknya pesawat terbang. Pertanyaannya adalah, apakah para teknisi yang berperan dalam maintenance sudah cukup jujur? Apakah mereka berani berkata bahwa pesawat ini tidak layak untuk terbang? Kadang faktor kejujuran itu tereduksi oleh tuntutan perusahaan yang menghidupi mereka. Sering para teknisi "dipaksa" (baca: terpaksa) untuk membenar-salahkan kebenaran dan menyalah-benarkan kesalahan. Mereka dipaksa menyatakan laik pesawat yang sebenarnya tidak laik.
Secara manusiawi, hal ini sangat tidak bisa diterima. Pemaksaan untuk menyatakan suatu pesawat yang tak laik terbang, menjadi pesawat yang laik terbang tentu akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri teknisi. Hanya, mungkin karena terlalu seringnya terpaksa dan saking terbiasanya, akhirnya rasa bersalah yang semestinya muncul sebagai akibat perasaan nurani, tidak muncul. Awal kesalahan seorang airman adalah ketika ia tidak mempu bersikap kesatria, begitu doktrin yang biasanya diajarkan pada para angkasawan.

Rendahnya ''Airmanship''
Sadar atau tidak, pendidikan yang diterima saat sekolah atau saat mengikuti pelatihan sangatlah penting bagi orang yang berkecimpung di dunia penerbangan. Faktor ini kiranya yang juga bisa memicu meningkatnya jumlah kecelakaan di negeri kita. Kemampuan para airman kita sebenarnya tidak kalah dengan orang asing. Hanya, karena di negara kita fasilitas training yang tidak memadai, mengakibatkan kemampuan airman kita menjadi rendah.
Pilot, misalnya, harus menjalani tes kemampuan dalam simulator setidaknya setahun dua kali untuk kapten dan setahun sekali untuk ko-pilotnya. Hal ini jarang mendapatkan perhatian. Alasannya hampir selalu sama, biayanya mahal. Hal ini jelas mengakibatkan perusahaan yang mempekerjakannya perlu biaya untuk memelihara kemampuan pilot, tentu jika ditilik secara ekonomi, hal ini jelas merugikan. Namun jika kita tinjau dari prosedur dalam dunia penerbangan, pilot memang wajib "difasilitasi" untuk mendapatkan training guna meningkatkan skill-nya. Mahalnya biaya, mungkin juga karena tak ada fasilitas simulator di dalam negeri sehingga pilot harus pergi ke Malaysia atau Tiongkok untuk meng-upgrade kemampuannya.
Sebenarnya visi peningkatan airmanship bukan semata tugas pilot atau teknisi namun juga perusahaannya. Karena airmanship mencakup seluruh aspek orang yang bekerja dalam suatu rangkaian proses dunia penerbangan. Sehingga satu faktor saja yang tidak mendukung maka rangkaian sistem peningkatan airmanship akan gagal. Perusahaan perlu kualitas yang bagus dari awak pesawat, begitu juga awak pesawat perlu suasana kerja yang mendukung, dan kesejahteraan yang laik agar mereka bisa bertugas dengan baik.
Tingginya permintaan akan angkutan udara yang dijawab dengan bermunculannya low cost carrier, secara tidak langsung juga menjadi faktor meningkatnya kecelakaan pesawat. Sudah bukan rahasia lagi, kalau low cost bagi airline bertarif murah di negeri ini berarti "menekan biaya serendah-rendahnya". Hal yang berdampak pada maintenance dan airmanship. Biaya-biaya mengenai safety, yang terkenal mahal "diefisiensi" sehingga menjadi sangat rendah (untuk tidak menyebut zero). Hal ini mengakibatkan pesawat tidak memiliki fasilitas keselamatan yang semestinya.
Frekuensi penerbangan yang tinggi, juga memaksa jam kerja awak pesawat melonjak tajam. Pilot yang semestinya sehari hanya terbang selama maksimal sembilan jam, bisa terbang sampai beberapa belas jam. Padahal itu sangat berbahaya bagi penerbangan. Karena faktor fatigue adalah salah satu hal yang menurunkan skill dari seorang penerbang.

''Zero Accident''
Zero accident atau meminimalisasi insiden yang bisa mengakibatkan aksiden, sering dikampanyekan dalam dunia penerbangan. Zero accident sendiri adalah usaha meminimalisasi kecelakaan. Hal ini dimulai dari maintenance yang baik, iklim kerja yang kondusif dan kemampuan awak yang terpelihara dengan baik. TNI-AU pada era kepemimpinan Marsekal Chappy Hakim pernah mengkampanyekan zero accident secara besar-besaran. Hasilnya, angka kecelakaan di lingkungan TNI-AU kala itu menurun. Hanya, mampukah zero accident diterapkan dalam penerbangan sipil? Tentu perlu kesadaran dari semua pihak untuk menyukseskan program ini.
Setidaknya pemerintah selaku regulator perlu membuat suatu kebijakan guna menerapkan kebijakan zero accident. Karena ketidaktegasan pemerintah selama ini dalam mengambil kebijakan mengakibatkan ketidakadilan di dunia penerbangan. Seorang pilot maskapai swasta pernah berujar, "Keputusan apa pun yang dikeluarkan, kan itu cuma berlaku buat Garuda dan Merpati." Tentu hal ini adalah joke yang sangat menohok. Memang, parameter kita selalu ada pada maskapai-maskapai pelat merah macam Garuda dan Merpati. Tetapi ketika mereka juga ternyata bermasalah, ke mana lagi kita berkaca?
Singapore Airlines, maskapai flag carrier negeri tetangga, terakhir kali mengalami kecelakaan pada 1972. Itu tercatat sebagai kecelakaan pertama bagi launch customer Airbus A-380 ini. Sampai hari ini, belum ada lagi berita Singapore Airlines mengalami kecelakaan. Kontras dengan negeri kita yang kecelakaan pesawat hanya berselang minggu. Seolah setiap bulan memang "wajib" ada kecelakaan pesawat di negeri kita. Jika tak ada perubahan dalam dunia penerbangan kita, zero accident sepertinya hanya menjadi cita-cita besar dunia penerbangan Indonesia.

Penulis, peminat penerbangan, mantan Ketua Saka Dirgantara Bali

lelaki dari masa lalu

Aku sudah menyusuri setiap detik-detik waktuhampir bermilyar detik kulalui tanpa bayanganmusudah beribu khayalku yang terhempas oleh kenyataanaku hanya bisa bersandar pada bayanganmuaku tak bisa untuk sekedar berharap padamukarena aku hanyalah sebuah sejarahaku hanya masa laluyang terlalu pahit untu dikenangaku hanyalah sejarah perihyang kau hempaskan dari catatan hidupmu

Sebuah prakata

katakan apa yang kamu pikirkan, tuliskan apa yang kamu katakan, dan kerjakan semuanya
itu adalah Pesan Ida Pedanda Sebali Tianyar pada setiap Parpol yang punya hajatan di Bali dan beliau diundang ke acara tersebut.
maka kalau agama yang saya anut adalah Islam dimana wahyu pertama memerintahkan "IQRA", maka perlu ada sesuatu untuk di "Iqra"