Kamis, 30 Oktober 2008

NASIONALISME; KEBANGSAAN DAN KEBENARAN


Kisah ramayana yang masyhur, mungkin sudah berulang kali dibahas, berulang kali dikaji dan semuanya punya perspektif masing-masing. Namun ada satu fragmen menarik dari penggalan kisah ini. Fragmen itu adalah fragmen dialog antara Wibisana dan Kumbakarna, sang Kakak saat sebelum dan sesudah pertempuran Sang Rama dan Kumbakarna.
“Aku tidak membela rahwana, namun yang kubela adalah alengka, tanah air kita”begitu lirih Kumbakarna pada sang adik, Wibisana. Musababnya jelas: Wibisana memihak Rama yang diyakininya sebagai kebenaran dan Kumbakarna memilih memerangi Rama, yang menyerang Alengka tanah airnya.
Wiracarita ramayana sendiri, merupakan kisah pertarungan rama melawan Rahwana yang menculik Sita, istri rama. Kisah ini sendiri walaupun mengetengahkan pertarungan Rama dan Rahwana, namun banyak fragmen yang justru punya nilai doktriner yang lebih dalam. Salah satunya adalah fragmen itu tadi, dialog Wibisana dan Kumbakarna.
Wibisana adalah salah satu adik Rahwana raja Alengka. Wibisana adalah saudara rahwana yang paling cerdas dan bijaksana. Selain Wibisana, Rahwana juga mempunyai adik lainnya yakni Kumbakarna dan Surpanaka. Kalau ketiga saudaranya berwujud raksasa, wibisana berwujud manusia. Karena kebijaksanaan dan keluasan ilmunya lah Rahwana mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan. Dalam wiracarita dikisahkan bagaimana Wibisana menasehati kakaknya yang sedang tergila-gila pada Sita atau Sinta, istri rama. Rahwana menampiknya, Ia tetap berupaya mendapatkan Sinta, akhirnya Sinta pun diculik.
Penculikan ini tentu membuat rama marah. Hanoman pun diutus untuk memata-matai Alengka. Sinta ternyata ditempatkan di istana milik Wibisana ditemani Trijata, putri kesayangan Wibisana. Hanoman pun menyampaikan pesan dari rama kalau Sinta akan segera dibebaskan. Wibisana lagi-lagi menasehati rahwana untuk mengembalikan Sinta pada Rama. Rahwana menolak, Wibisana pun memilih menyeberang ke pihak Rama.
Saudara Wibisana yang lain, Kumbakarna yang juga kecewa pada Rahwana memilih untuk tidur. Sedang Surpanaka tentu memilih bersama Sang Rahwana, menyerang Rama. Alkisah pertempuran terjadi. Setelah satu persatu Ksatria Alengka bertumbangan oleh pasukan Rama, Rahwana pun membangunkan Kumbakarna. Kumbakarna pun menolak membela rahwana. Karena ia tahu rahwana memang salah. Namun kumbakarna juga tak mau tanah airnya diserang Rama.
Antara Tanah Air dan Kebenaran
Kumbakarna pun maju bertempur, bukan demi Rahwana, namun demi Alengka tanah airnya. Sebuah potret nasionalisme yang heroik. Nasionalisme kumbakarna, adalah nasionalisme yang umum kita temui saat ini. Nasionalisme teritorialis yang menyekat pengertian “nasionalisme” sebagai semangat kebangsaan pada sekat-sekat wilayah. Sehingga doktrin bahwa right or wrong is my country tumbuh subur. Nasionalisme model ini, pada tataran ekstrim akan berubah menjadi chauvinistis, spirit membanggakan negeri sendiri. Tidak salah memang, namun tidak selamanya tepat.
Wibisana, yang memilih membela Rama.,merupakan potret nasionalisme universal. Nasionalisme yang dipatri lantaran kebenaran. Universalitas nasionalisme inilah yang sebenarnya punya makna yang dalam di dunia saat ini. Dimana dalam pergaulan internasional sekat kenegaraan menjadi bias dan cenderung dikesampingkan. Nasionalisme versi wibisana adalah cakupan nasionalisme yang lebih luas. Nasionalisme Wibisana bukan nasionalisme yang ditafsirkan sebagai semata-mata semangat kebangsaan, namun nasionalisme juga ditafsirkan sebagai semangat kebenaran.
Semangat kebenaran tentu jauh lebih bermakna dibanding semangat kebangsaan dalam arti sempit. Semangat kebangsaan dalam arti sempit yang cenderung mengarah jadi chauvinisme sangat berbahaya dalam percaturan internasional. Lihat bagaimana Jerman dengan doktrin Uber Allesnya. Ia memang mampu menguasai eropa pada perang dunia II, namun itu tidak lama. Dalam waktu singkat saat Hitler, sang rahwana, tumbang. Imperium Jerman pun bubar. Spirit nasionalisme yang dibangun semata diatas dasar kebangsaan pun lenyap sudah.
Seorang pemikir islam kontemporer, yang di Mesir dianggap sebagai tokoh yang berbahaya, Hasan Al Banna. Punya pemikiran nasionalisme yang juga universal. Hasan Al banna mengajukan premis universalitas nasionalisme yang didasari pada keislaman. Salah satu bukti nyata perjuangan AL Banna salah satunya adalah kemerdekaan negeri ini, Indonesia.
Al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya saat itu membentuk suatu komite untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Fragmen sejarah yang boleh jadi dilupakan oleh banyak rakyat Indonesia. Terbukti perjuangan itu sukses, pengakuan demi pengakuan mengalir dari dunia internasional.Posisi Indonesia pun makin kuat, bukan cuma lantaran Soekarno dan pejuang lain mati-matian berusaha, namun ada peran besar seorang pemikir bernama Al Banna disana.
Sayangnya, orang-orang seperti Wibisana yang ada dalam kisah ramayana, atau hasan al Banna yang sampai hari ini legendaris karena pemikirannya, makin sulit dicari di dunia sekarang ini. Dunia sekarang sedang perlu sebuah tafsir baru nasionalisme. Tafsir baru itu tentu akan mengakomodir pola hubungan antar bangsa yang dilandasi nilai kebenaran. Bukan semata nilai kebangsaan yang berkembang sekarang.
Nilai kebangsaan, acap kali berbuah menjadi penyulut perang antar negara. Tak kurang atas nama patriotisme, nasionalisme diartikan sebagai hak untuk menyerang bangsa lain yang dianggap melecehkan bangsanya. Penafsiran nasionalisme juga lebih sering diartikan sebagai hak untuk memajukan negeri sendiri tanpa peduli kepedihan dan krisis bangsa lainnya.Tafsir yang justru merubah dan merendahkan derajat nasionalisme menadi tidak humanistis.
Sudah semestinya nasionalisme tak lagi diartikan sebagai semangat kebangsaan. Namun mengacu pada fragmen kisah Wibisana dari Alengka dan ajaran Nasionalisme Hasan Al Banna. Nasionalisme harus diartikan sebagai sebuah semangat kebenaran.
Kang Wiman

Minggu, 19 Oktober 2008

KARENA SEMUA ADALAH MASA DEPAN

Satu ketika kawan saya, aktivis sebuah partai islam yang sedang naik daun berkata pada saya “Kami adalah masa depan” tuturnya. Kami disini jelas maksudnya adalah, partainya. Memang partai kawan saya ini sedang getol-getolnya berusaha memenangi pemilihan umum 2009. Sebagai kawan saya mengamini saja. Toh, urusan partainya menang atau tidak itu murni urusan dia meyakinkan konstituen, kalau meyakinkan saya:dia rugi. Karena saya sudah kadung apatis pada pemilu 2009.
Kawan saya yang aktif menjadi pengurus partai nasionalis yang dipimpin seorang Nyonya yang kharismatik punya premis beda. “Indonesia dibangun karena nasionalisme, dan kamilah kaum nasionalis itu” begitu kalimat kawan saya pada saya. Saya juga mengamini saja, karena toh juga saya memang paham sejarah bahwa setidaknya mereka memang pernah mewarnai negeri ini, dengan jargonisme “Wong Cilik”.
Kalau saya pikir-pikir, saya punya banyak sekali kawan yang kini aktif di berbagai partai. Ada yang di partai besar macam Demokrat,PKS, PDIP,Golkar, PKB bahkan di partai baru macam Hanura dan gerindra. Mereka semua punya cara masing-masing dalam meyakinkan saya, kawannya. Untuk sekedar memberi tanda pada logo partai mereka nanti, 9 April 2009. Setelah itu? Saya tidak tahu bagaimana. Karena konon biasanya politisi itu janjinya hanya manis sebelum pemilu dan berakhir pahit saat ia sudah duduk.
Partai politik, memang merupakan lahan strategis baru yang muncul sejak era reformasi bergulir. Partai politik adalah sebuah sarana mobilitas vertikal yang relatif cepat dan menguntungkan walaupun untuk itu biasanya banyak hal yang irasional yang mesti dilakukan. Tak heran gelombang OKB(orang kaya baru) atau OMB (orang miskin baru) mulai muncul sejak keran demokrasi itu dibuka.
Sejak reformasi, partai politik tumbuh luar biasa pesatnya. Tumbuhnya banyak partai ini juga mengakibatkan rakyat makin bingung. Bingung karena pada satu sisi nama partai tidak jauh berbeda, dan bingung karena pada sisi lain proyek partai pun kurang lebih sama. Jadilah istilah seperti yang digunakan kawan-kawan saya yang kini jadi aktivis parpol itu seperti “Kamilah masa depan” atau kami adalah perubahan dan sebangsanya, jadi lazim terdengar.
Pikiran saya; mengkonstruksi masa depan tentu adalah proyek besar bangsa indonesia, bukan proyek besar partai tertentu. Karena jelas, Indonesia adalah negara dimana yang hidup disini sangat heterogen. Heterogenitas Indonesia salah satu wujudnya adalah banyaknya partai politik itu tadi. Kalau memang jiwa bangsa kita punya jiwa yang integratif, mestinya partai Cuma ada beberapa, atau malah partai tunggal macam di negeri komunis.
Partai tunggal yang saya maksud disini tentu tidak sekedar mengcopy paste sistem komunis. Namun sebagai sebuah implementasi berbeda tapi satu. Gagasan partai tunggal sebenarnya hampir terwujud, dulu ketika fusi partai di era orde baru diberlakukan.hanya saja pemerintah waktu itu mungkin masih pikir-pikir. Karena waktu itu ada tiga kekuatan besar yang sampai hari ini masih terus bergulat di panggung politik kita. Islam, nasionalis, dan sebelum ditumpas, komunis. Setelah komunis dibasmi, maka hanya tinggal dua kekuatan yang ada nasionalis dan islam. Tentu amat riskan menjadikan duel vis a vis antara keduanya. Muncullah Golongan Karya, sebuah partai yang konon bukan partai tapi golongan.
Era orde baru secara jujur mesti kita akui sebagai orde yang paling menjanjikan kalau bicara masa depan. Paling tidak, masa depan itu diprogram dengan program sakti “Pembangunan Lima Tahun” sebagai sebuah fragmen narasi besar kepemimpinan Bapak kita daripada soeharto, Pembangunan. Tak kurang visi dan misi sudah disusun dengan sangat cermat, dari era agraris, industrialisasi sampai era tinggal landas, sebuah era dimana bangsa kita diprogram sudah mampu bersaing dengan bangsa lain. Orde baru bubar, impian pun buyar.
Praktis sejak reformasi bangsa kita ini tidak punya mimpi yang realistis dan cenderung dicapai secara sistematis. Lihat saja pemerintahan yang jatuh bangun dan silih berganti nyaris tak punya mimpi besar yang bisa ditawarkan. Soekarno menawari kita revolusi, soeharto menawari kita pembangunan. Namun para penggantinya nyaris tak punya narasi kepemimpinan dan impian yang bisa ditanamkan dalam benak rakyat. Partai yang muncul sekarang pun mulai coba menawarkan mimpi, namun nyaris semua:KHAYALAN.
Kenapa khayalan?karena mimpi dalam narasi yang mereka buat hanya narasi untuk mereka sendiri, bukan narasi yang compatible dengan kondisi rakyat.bahkan antar partai pun, narasi masa depan mereka justru malah berpotensi disintegraif. Anda bayangkan saja partai di Indonesia umumnya punya ideologi yang berbeda. Dan jualan mereka dari masa kemasa selalu perbenturan ideologi. Nasionalis yang dipersepsikan sekuler selalu terdikotomi dengan kalangan islam yang selalu dicurigai ingin mendirikan negara islam. Sungguh perdebatan dan pertentangan sia-sia karena sampai hari ini, saat bangsa kita sudah lebih dari separuh abad merdeka, perdebatan ini belum lagi usai. Hasilnya bangsa kita justru makin terpuruk, Cuma lantaran soalan curiga dan prasangka
Pemilu 2009 akan segera tiba, semua partai yang jumlahnya tidak pasti karena setiap partai yang dicoret KPU selalu menang di PTUN, mereka semua juga bangsa Indonesia-yang punya hak ikut pesta. Pesta demokrasi itu akan dimulai. Narasi masa depan dan masa lalu kita juga akan ditulis ulang. Pastinya oleh partai yang menang. Kawanku..........baik yang PDIP,PKS,Golkar atau apapun warna jaket dan ideologi kalian...... Bangsa ini milik kita semua, maka narasi besar adalah tanggungjawab kita semua.Jangan karena anda berkuasa lantas anda merasa berhak memaksakan narasi yang anda buat.
Yang benar itu masih banyak dan yang banyak belum tentu benar.............

Jumat, 12 September 2008

Menjemput Harapan

Perlahan bis itu meluncur menuju Surabaya, dengan harga tiket yang ditawar mati-matian, ia akhirnya berangkat juga. Dengan hanya menggenggam uang yang dia pinjam sebelumnya dari saya ia berangkat menuju dermaga harapannya. Harapan bernama keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagai orang awam yang boleh dikata “nggak ngeh” dengan kehidupan pergerakan, saya salut pada kawan saya ini.

Dia aktivis sebuah pergerakan yang sangat menjunjung nilai islam. Taat beribadah, dan dikenal sebagai orang yang lurus. Sore itu dia datang pada saya. Menceritakan apa yang sedang dihadapinya, sebagai awam ya saya mendengarkan saja kisah anak masjid ini.

Usianya yang menginjak dua puluh empat tahun ternyata membuatnya gusar, sampai kini ia masih sendiri. Padahal kawan sepergerakannya banyak yang sudah berumah tangga. Ia pun akan melangkah ke jenjang itu. Pada titik itu saya bersyukur, setidaknya dalam waktu dekat saya akan makan gratis lagi di kondangan, maklum sebagai anak kos, perbaikan gizi tentu perlu. Ia lalu berkisah tentang calon istrinya.

“Anda tahu siapa calon istri anda?”tanya saya. “Tahu, hanya dari foto dan selembar biodata. Tapi saya yakin”tuturnya. Sebagai kawan-walaupun tidak seorganisasi dan sepergerakan- saya lalu menyarankan kenapa tidak ketemu saja dulu, omong-omong dulu. Dia menjawab lugas, “itu yang akan saya lakukan, tapi saya sudah percaya pada orang ini”. Saya kembali bertanya “Kenapa kok segitu yakinnya?”. Ini yang membuat saya kagum, salut dan hormat padanya atas keputusan ini. Ia lalu menyitir ayat Al Quran surat An Nur ayat 26. “Laki laki baik untuk perempuan baik, begitu juga laki-laki buruk untuk perempuan buruk”tukasnya. Sempurna! Bisik saya dalam hati.

Saya jadi ingat kisah Pak Harto, presiden yang walaupun kontroversial tetap harus kita hormati, karena sedikit banyak, ia juga punya jasa buat negeri ini. Pak Harto menikah dengan Ibu Tien konon kisahnya lantaran sebuah foto. Bu Tin konon langsung setuju hanya dengan melihat potret seorang pak harto muda. Lepas dari segala kontroversi akan kehidupan keluarga mereka, kita disuguhi kisah cinta yang romantis. Dalam era 32 tahun kepemimpinannya nampak Soeharto sangat powerfull, kuncinya satu: soliditas keluarga yang digalangnya bersama Bu Tien. Sehingga cendana nampak selalu kokoh dan harmonis .
Lepas kisah pak harto saya jadi ingat orangtua saya sendiri. Ayah dan ibu saya juga dulu menikah tanpa pacaran selazimnya orang sekarang. Cuma lewat foto dan data di biro jodoh sebuah majalah, mereka ketemu, nikah, dan lahirlah saya dan adik saya. Sejauh ini juga nampak bahagia-bahagia saja.
Ingatan saya lalu terusik kalimatnya “Hanya saja, saya tidak punya cukup uang untuk pergi ke surabaya”tandasnya. Saya sangat mengerti kenapa ia sampai tak ada uang, wajar saja sebagai mahasiswa yang tengah kerja praktek dan semester akhir pasti banyak kebutuhan untuk kuliah. Saya, tanpa pikir panjang lalu memberinya sebuah amplop yang baru saya terima dari sebuah media sebagia honor tulisan. Ia lalu berterimakasih dan berjanji mengembalikannya. Saya bilang; bayar saja dengan menjadikan keluargamu sakinah.Saya mengantarnya menuju terminal Ubung, dan saya saksikan sampai ia benar-benar hilang di ujung tikungan.
Dalam hati terbersit rasa hormat luar biasa pada aktivis pergerakan ini. Betapa keyakinan terhadap Tuhan menjadi kunci baginya untuk membina keluarga. Saya yang bukan aktivis pergerakan apapun jadi miris melihat kondisi pergaulan anak-anak muda sekarang. Konon katanya buat anak muda sekarang sex itu biasa, konon juga gonta-ganti pasangan itu wajar. Bahasa kaum masjidnya : FULL MAKSIAT.
Sebagai orang yang biasa-biasa saja alias orang yang tidak punya cap anak masjid, saya juga sedikit banyak sudah diajari kawan saya ini, bahwa ternyata ada sebuah solusi dalam meluruskan semuanya. Solusi bernama pernikahan. Sebuah solusi dalam menjaga diri dari maksiat. Lebih dari itu kawan saya ini juga mengajari saya tentang teman hidup.
Walau bukan aktivis mesjid saya sangat yakin dengan Al Quran, karena saya orang islam. Namun baru kali ini Surat An Nur ayat 26 yang adalah ayat qouliyah alias ayat yang tertulis seolah nampak nyata atau ayat qouniyah di depan saya. Dengan keberanian yang menurut saya berisiko, ia tempuh juga jalan hidupnya menjemput jodoh yang dijanjikan Tuhannya. Keyakinannya bahwa jodohnya adalah cermin dirinya sendiri membuatnya berani menempuh jalan yang disebut Taaruf itu.
Saya melepas kepergiannya menjemput jodohnya. Kemudian handphone saya berdering sebuah sms dari kawan saya tadi. “Terimakasih sobat, saya tidak akan melupakanmu”. Saya membalasnya “Hati-hati, Percayalah Tuhan selalu memenuhi janjinya”.
Sebagai ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa yang kerap dicurhati mahasiswa dari berbagai kalangan dan background organisasi, baru kali ini ada sebuah penyaluran aspirasi yang tulus, yang jujur dan menggugah hati saya. Sebuah kisah keyakinan seorang anak muda menjemput harapan yang dijanjikan Tuhannya

Kamis, 11 September 2008

Perlawanan Dari Kos-Kosan

Buku berkover hitam itu saya pinjam dari seorang teman yang kebetulan aktivis sebuah organisasi keislaman yang bergerak dalam bidang politik. Judulnya cukup menggoda, dan cukup menggugah ‘Perlawanan dari Masjid Kampus’. Di buku itu dikisahkan tentang awal pergerakan yang diikuti teman saya ini. Sebagai orang yang dicap sebagai “bukan anak masjid” masygul juga rasanya hati ini. Seakan ada rasa bersalah karena seakan saya tidak bisa punya peran dalam perubahan.
Bahwa perubahan berawal dari masjid, peradaban juga digagas dari masjid- sebagai orang yang dicap bukan anak masjid, walaupun saya berusaha selalu hadir ke masjid sesering mungkin- maka saya tidak berhak mengklaim sebagai anashirut taghyir, begitu bahasa kaum pesantrennya; agen perubahan. Saya memang sepakat bahwa masjid adalah tempat berkumpulnya insan-insan yang rabbani, dan peradaban masjid tersukses, memang ada. Pemerintahan Nabi di Madinah adalah gambaran pemerintahan masjid oriented yang sukses.
Masjid zaman nabi memang bukan semata tempat shalat sebagaimana sekarang kita dapati. Masjid kala itu memegang peranan yang sangat penting. Masjid adalah simbol sosial, masjid adalah tempat strategi dibahas dan masjid adalah rumah kehidupan, rumah dimana segalanya dibahas dan dibicarakan. Masjid adalah tempat semua yang mengaku islam berkumpul, baik mereka yang berislamnya baik, setengah baik, atau malah tidak baik sekalipun. Karenanya, masjid adalah prototipe kehidupan.
Kembali pada buku yang jadi “bacaan wajib” bagi teman saya dan kawan-kawannya sepergerakan itu, saya jadi kagum bahwa ternyata di zaman sekarang ini masih ada orang yang berjuang dengan masjid sebagai pijakan. Tentu saya kagum karena logika saya kalau pijakannya masjid, tempat orang senantiasa sujud, dan ruku’ pada penciptaNya maka kemungkinan besar mereka juga orang baik. Karena saya percaya orang yang mendekatkan diri pada Tuhannya, maka setidaknya agak segan berbuat yang tidak baik.
Bicara gerakan perlawanan, tentu sangat menarik khususnya bagi mereka yang punya harapan, punya cita-cita memperbaiki bangsanya (baca: melawan kezaliman penguasa). Saya yang biasanya nongkrong di kos selepas kuliah, teman saya yang nongkrong di masjid selepas kuliah, kawan saya yang biasa nongkrong di kafe dan klab malam, dan juga saudara-saudara yang biasa menghabiskan waktunya di laboratorium dan perpustakaan pasti punya harapan. Tentu dengan versinya masing-masing.
Buat mereka yang nongkrong di perpustakaan atau lab, pastinya harapan mereka akan diwarnai dengan intelektualitas dan budaya akademis, namun bukan berarti mereka yang tidak ngongkrong di lab atau perpustakaan tidak punya intelektualitas dan budaya akademis. Untuk mereka yang nongkrong di kafe atau klab malam, pastinya akan diwarnai suasana have fun. Buat kaum pesantren dan kaum masjid mereka juga punya cita-cita sendiri: bahagia dunia akhirat. Nah, tinggal saya yang biasanya nongkrong di kos sambil memelototi kelinci-kelinci saya.
Pastinya saya juga punya harapan, punya pikiran untuk melawan kezaliman sebagaimana kawan-kawan lain. Lebih khususnya kawan-kawan yang nongkrongnya di masjid. Yang sudah lebih dulu me-release “Perlawanan dari Masjid Kampus”. Saya juga punya gagasan; Perlawanan dari kos-kosan. Kos-kosan adalah tempat dimana kita tinggal, dimana kita nongkrong atau sekedar tempat menaruh barang alias tempat transit
Saya percaya bahwa dimanapun kita “nongkrong” yang penting adalah bobot pergaulan kita dengan teman atau saudara se”tongkrongan”. Lebih khusus lagi, tempat dimana kita tinggal. Sejarah sudah mengajari kita bahwa pemimpin besar lahir dari tempat-tempat tinggal yang “besar”. Besar bukan artian fisik, namun besar dalam artian spirit.
Soekarno, presiden republik kita ini, waktu remaja juga indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Dari rumah inilah mentalitas Soekarno dilatih, ia dilatih bagaimana menjadi pemimpin dalam dialektika kehidupan di rumah Founding Fathers Sarekat Islam itu. Mahmoud Ahmadinejad, Presiden iran nan sederhana juga dibesarkan dari tempat yang luar biasa; pemukiman kecil di pinggiran teheran. Namun lingkungan itu mengajari Ahmadinejad menjadi seperti sekarang: sederhana.
Nehru, tokoh kharismatis India pernah bilang bahwa tempat terbaik dalam penempaan mental dan spiritual adalah Penjara. Namun jangan diartikan saya menghasut anda untuk masuk penjara. Menjadi tahanan politik memang merupakan kisah hidup para tokoh pergerakan. Penjara adalah kos-kosan gratis yang mengajari para tahanan politik bagaimana menjadi lebih arif.
Lihat saja Nelson Mandela, ia justru tidak dendam pada rezim yang memenjarakannya. Ia justru lebih arif setelah keluar masuk penjara. Di Republik ini, tentu banyak juga tahanan politik. Yang saya kagumi, M Natsir mantan Pemimpin masyumi juga pernah nge kos di penjara. Juga HAMKA, kyai yang saya kagumi lantaran “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”, menghabiskan waktunya di penjara bahkan sempat menulis tafsir disana. Sayid Quthb tokoh pergerakan islam modern, menulis tafsir Fii Zhilalil Quran yang legendaris juga dari penjara.
Akhirnya saya punya simpulan, bahwa kemerdekaan, perlawanan, dan gagasan itu tergantung pada hati kita. Dimanapun tempat kita, yang penting hati kita punya harapan, punya cita-cita dan langkah mencapainya. Hamka bilang yang penting adalah jiwa yang merdeka. Maka saya juga bisa bilang, walaupun saya anak kos-kosan tentu mereka yang ada di masjid, di jalanan, di klab malam, dan di perpustakaan belum tentu bisa berpikir lebih merdeka dari saya.
Paling tidak, dikamar saya yang berantakan saya pernah menuliskan sebuah teks perlawanan, sebuah gagasan. Dan dari kos-kosan saya yang menyepi di bukit Jimbaran, saya pernah mengumpulkan anak-anak muda bangsa ini. Untuk mengajak mereka sama-sama membangun indonesia yang baru agar sejarah kelak akan mencatatkan untuk kami sebuah kisah :PERLAWANAN DARI KOS-KOSAN
Gus Wim

TUA VS MUDA, PKS VS PDIP?

Wacana pemimpin muda, atau lebih tepatnya pemimpin baru belakangan mengemuka. Musababnya jelas, Tifatul Sembiring, Presiden PKS dalam mukernas PKS di Makasar nyata-nyata meminta para pemimpin yang berusia uzur untuk segera turun pentas politik. Hal ini disambut serius oleh Megawati, Ketua umum PDIP. Mega bahkan menantang Tifatul untuk maju dan bertempur di gelanggang pilpres 2009.
Geli juga rasanya mendengar pertempuran wacana antara dua partai ini, yang satu punya basis kalangan menengah keatas, lainnya berbasis kalangan menengah ke bawah. Satunya partai kader, lainnya partai massa, satunya berbasis islam, yang lain berbasis nasionalis. Namun Yang paling menonjol menurut saya : Yang satu mengaku anak muda dan lainnya merasa sudah tua.
Kepemimpinan anak muda di pentas nasional memang merupakan hal yang boleh dikata sebagai sesuatu yang anyar walaupun sebenarnya ini adalah isu lama. Dianggap baru, karena baru berhembus kencang saat ini, dan dianggap lama kalau kita lihat sejarah bahwa presiden pertama dan kedua kita saat memangku jabatan presiden adalah “anak muda” yang “balita”, bawah lima puluh tahun.
Memang kalau dilihat dari alasan menjadi pemimpin, kedua partai ini boleh dibilang punya kesempatan yang besar. Tanpa mengesampingkan partai besar lain macam Golkar, PPP,PAN,Demokrat dan PKB. PDIP dan PKS menawarkan sesuatu yang relatif mampu mendulang suara. PKS dengan kekuatan mesin politik bernama kader yang militan, PDIP punya kharisma Megawati yang seolah tak luntur dimakan umur.
Setidaknya dengan alasan itulah kedua partai ini bisa mendulang suara di 2009. Hanya saja kalau melihat dari sisi kemungkinan untuk merubah Indonesia, nampaknya dua partai ini belum mampu menjadi partai yang menghadirkan harapan untuk Indonesia kedepan. Kenapa? Karena dua partai ini, sepertinya kurang bisa menjalin komunikasi politik dan koalisi strategis untuk menjalankan roda pemerintahan.
PDIP, setidaknya pernah merasakan saat-saat berkuasa. Saat mereka berkuasa, nampak sekali mereka bahkan tak mampu menghadirkan aharapan akan perubahan. Harapan saja tidak! Lihat privatisasi besar-besaran BUMN pada masa Megawati, belum lagi kecelakaan ekonomis bernama penjualan gas yang dijual seharga “kacang goreng”. Sungguh tragedi pemerintahan yang menyedihkan. Masalahnya lagi saat era megawati, seolah kita hidup dalam dunia yang pragmatis, dan kehilangan akar pemikiran bahwa bangsa ini semestinya memikirkan masa depannya. Hal ini dicerminkan dalam privatisasi BUMN dan langkah obral aset yang lainnya. Seolah berpikir sangat sederhana; perlu duit ya jual saja, untuk dapat duit. Tentu ini logika yang terlalu “wong cilik” bukan logika wong pinter.
Semestinya pemimpin seklaipun ia menyebut diri wong cilik, dalam urusan memerintah ia harus menggunakan logika wong pinter. Karena pemimpin mesti menjadi selangkah lebih depan dari rakyatnya dalam berpikir dan lebih belakang dari rakyat untuk urusan memakmurkan diri. Potret inilah yang zaman PDIP berkuasa seolah tak nampak.
Beralih ke PKS, sebagai partai yang umurnya saja belum akil balig, PKS boleh dibilang masih dilabeli stigma sebagai partai islam garis keras, yang bahkan dicap ingin mendirikan negara islam. Memang jika dilihat dari perspektif awam, PKS adalah partai islam yang sangat menjunjung tinggi kislamannya. Pada titik ini banyak yang respek pada PKS, pada kader-kadernya yang nampak santun dalam berpolitik. Namun tetap saja PKS nampak masih punya barrier ideologis dalam menjalin komunikasi politik dengan partai lain.
Sehingga kalau kelak PKS memerintah, bisa jadi rong-rongan politis akan sangat besar jika tak mampu mengendalikan parlemen. Sehingga ujungnya menjadi pemerintahan yang ompong. Pemerintahan SBY adalah contoh kisah itu, betapa tak berdayanya SBY yang merupakan presiden pilihan ralyat menghadapi tekanan partai besar yang termanifestasikan di legislatif. Sehingga PKS punya tugas besar jika ia klak menjadi pemimpin negeri ini; menjalin komunikasi politik dan koalisi strategis dengan elemen ;ain bangsa ini. Karena bangsa ini, yang terdiri dari beragam budaya, agama, suku dan ras perlu dipimpin oleh orang yang berpikir moderat dan cerdas. Mungkin kisah Nabi Muhammad saat memimpin Madinah adalah kisah yang mesti ditiru kalau PKS mau menjadi pemimpin di negeri ini. Menurut riwayat nabi sendiri, Nabi adalah politisi handal yang punya manuver-manuver politik strategis namun tak melanggar agama.
PDIP, sebagai Partai yang pernah berkuasa, juga mesti merombak diri, setidaknya mampu meyakinkan rakyat lagi bahwa masa depan tidak akan begitu-begitu saja. Tidak akan dipimpin oleh orang yang memimpin dengan frame berpikir wong cilik, karena pemimpin seklaipun ia berasal dari kalangan wong cilik, ia harus berpikir dengan pola wong pinter.
Pemimpin Masa Depan
Kalau PDIP tetap keukeuh dengan Megawati sebagai capres, yang tentu saja secara umur boleh dibilang sudah uzur, PKS belum lagi menentukan capresnya yang katanya mewakili generasi muda. Ada Hidayat Nur Wahid, ada Tifatul Sembiring, dan sederet nama lain macam Anis Matta, Mahfudz siddiq dan yang paling muda mungkin Rama Pratama. Maka akan sangat menarik melihat pertarungan Tua vs Muda. karena Tua vs muda bukan Cuma soalan umur, atau tokoh yang maju.
Karena isu ini sudah membakar semua orang baik yang berasal dari partai politik maupun LSM, maka boleh jadi semua pihak akan saling klaim tua atau muda, untuk berebut jadi pemimpin bangsa ini. Contoh, Fadjroel rahman yang sedang getol mengkampanyekan capres independen, boleh jadi adalah orang yang termakan isu kepemimpinan anak muda yang dihembuskan PKS, karena sebelumnya, Fadjroel relatif “sepi” dari isu capres independen, walaupun ia memperjuangkan calon kepala daerah independen.
Kisah lain adalah Yuddy Chrisnandi, politisi yang hengkang dari golkar. Yudi mungkin adalah orang yang paling terprovokasi .Kenapa? Karena ia langsung melepas golkar untuk mengejar RI-1. Entah benar atau tidak, Yudi konon mundur karena sulit maju lewat golkar. Jadilah hengkang sebagai pilihan.
Tua vs Muda, memang adalah msalah pelik, sejak zaman kemerdekaan kita, sejak “anak-anak muda” menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke rengasdengklok, sampai hari ini Tua vs Muda yang hari ini sebenarnya seakan berubah menjadi duel dua partai PDIP Vs PKS.
Gus Wim

Virus itu bernama merah jambu

“Aku mencintaimu karena alloh” begitu isi sms yang masuk ke handphone seorang gadis yang aktif di sebuah lembaga keagamaan. Pengirimnya sahabat saya sendiri yang juga sama-sama aktif di lembaga itu. Saya sendiri tahu sms itu karena difordward oleh si gadis kepada saya sambil ditambahi kata-kata” bilang sama dia saya tidak suka hal seperti ini”. Sebagai orang yang awam dan kurang ngeh dengan agama saya jadi bingung sendiri. Orang-orang yang “ngeh” saja masih suka hal-hal dunia, apalagi saya. Tentu kalau saya mungkin karena awam, saya Cuma akan bilang aku mencintaimu, titik, tanpa ada embel-embel Tuhan yang diseret-seret.
Memang aneh menyimak pergaulan anak-anak masjid atau anak rohis atau anak-anak yang berafiliasi dalam lembaga yang berbau agama. Mereka selalu menyitir ayat, hadis atau apapun itu kadang untuk kepentingan yang tidak semestinya. Hal diatas adalah kasusnya. Betapa banyak orang yang nampaknya “gak suka dunia” ternyata punya kelakuan justru lebih cinta dunia dibanding dengan mereka yang selama ini dicap cinta dunia.
Sebagai awam, sekali lagi sebagai orang yang tidak berafiliasi dalam organisasi yang berbau agama, saya jadi heran terhadap tingkah sebagian kalangan ini. Ayat 32 Surat Al Isra padahal sudah jelas, dan pastinya menurut saya kita punya tafsir yang seragam dalam urusan itu; zina itu menjijikkan. Bahkan mendekatinya saja sudah dilarang. Anehnya, mereka yang selama ini saya anggap lebih faham agama dibanding saya yang tidak berafiliasi kemanapun, ternyata justru lebih parah.
Memang akan ada pendapat itu kan hanya oknumnya saja, bukan organisasinya. Namun izinkan saya bertanya, dimanakah letak pemahaman doktrin organisasi yang mengatasnamakan islam? Bukankah organisasi yang mengatasnamakan islam maka ia juga mesti memahami doktrin bahwa islam adalah sempurna, sebagaimana dalam Al MAidah ayat 3 Alloh berfirman bahwa telah kusempurnakan agamamu. Maka tentu adalah keterpelsetan pemikiran kalau organisasi yang berlabel islam justru tidak islami.
Islami yang saya maksudkan juga bukan terjebak pada simbolisasi tertentu. Seolah jika kita menggunakan symbol seperti kerudung, baju koko atau kopiah maka itu adalah bisa dibilang islami. Secara tampilan, mungkin hal itu bisa dikatakan islami versi Indonesia, namun suasana atau islami yang lebih penting sebenarnya adalah islami secara pemikiran, hanif dalam perbuatan dan akhirnya maka ia akan menjalankan semuanya sesuai dngan rule of islam dalam segala spek hidupnya
Semestinya organisasi yang melabelisasi diri dengan agama, mampu memanifestasikan itu dalam pikiran. Dalam hal ini adalah doktrin yang didoktrinkan pada para anggota atau kadernya. Karena sungguh masygul mendengar seorang aktivis sebuah organisasi yang melabeli diri dengan islam, kedapatan mencuri di sebuah toko buku. Sedih rasanya, seolah organisasi yang digelutinya tidak mampu mewarnai sikap hidup anggotanya.
Kembali pada kisah kawan yang saya ceritakan diatas, saya melihat in facts tak ada sorang pun yang mampu lepas dari perasaan suka pada lawan jenis. Hal itu adalah suatu kodrat dan wajar. Yang menjadi tidak wajar adalah manakala kita tahu rule atau aturan namun kita justru melabraknya baik dengan halus maupun kasar. Pada organisasi islam semestinya sistem islam itu dijaga dengan baik. Karena parametrnya tentu adalah organisasi itu.
Islam, adalah agama yang syumul, syamil mutakammil, alias sempurna. Tentu urusan cinta juga ada salurannya. Dengan cara yang hanif, santun dan menjaga martabat. Sehingga jika sudah menerapkannya maka saya yakin, kisah bunuh diri karena di putus pacar tidak akan ada lagi. Namun ternyata justru sistem impian itu masih jauh diatas langit.
Karena justru kemuliaan islam dirusak oleh sekelompok orang yang melabeli diri dengan islam namun justru menrapkan cara yang sama sekali tidak dibolehkan. Setahu saya, berpegangan tangan dua orang berlainan jenis yang bukan muhrim atau bukan suami istri atau hubungan lain yang memungkinkan itu adalah dilarang. Namun sbuah kenyataan tersaji di depan saya pada suatu waktu saat saya melihat sahabat saya, aktivis sebuah ormas islam justru membonceng kekasihnya yang juga memiliki afiliasi yang sama pada ormas tersbut.
Dalam hati saya berpikir, ini namanya justru saling menjerumuskan satu sama lain. Seolah diantara dua orang -yang tadinya saya hormati karena pemahaman agamanya- tak ada yang ingat hadits Rasululloh SAW yang mengatakan bahwa lebih baik ditusuk dengan besi menyala dari ujung kaki sampai kepala dibanding dengan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram. Akhirnya saya justru berpikir sedikit manusiawi; yah mereka juga manusia, tempat salah dan lupa.
Memang awam-seperti saya ini- terlanjur mencap mereka yang berafiliasi dengan organisasi keislaman adalah sekumpulan orang-orang soleh yang kalau bergaul dengan mereka kita serasa melihat surga dan jika jauh seakan melihat neraka. Karenanya ekspektasi itu mungkin juga salah, karena yang kita cap itu juga manusia biasa.
Namun apapun itu, tentu sangat tidak dibenarkan kalau aktivis islam justru mendistorsi nilai-nilai islam yang ada khususnya dalam pergaulan dengan lawan jenis. Karena disadari atau tidak, khalayak biasanya menganggap potret islam itu adalah kehidupan aktivis islam itu. Akhirnya haruskah potret islam yang ada pada para aktivis itu harus ternoda?terkontaminasi virus bernama merah jambu? Virus merah jambu itu menjangkiti siapapun kapanpun dimanapun, dan aktivis islam pun tak lepas dari hal itu. Virus yang manusiawi namun jika salah saluran justru ia akan menghancurkan mimpi kemanusiaan itu sendiri. Hanya waktu yang akan menjawab.

Gus Wim, orang biasa bukan santri

Sabtu, 30 Agustus 2008

SEPARATISME EMOSIONAL

Sebuah polisi tidur menuju Mushalla Umar Bin Khattab di Kawasan JImbaran menjelang ashar nampak berbeda, sebuah polisi tidur itu nampak tergores dengan beberapa goresan. Kalau mau jujur isi goresan itu mengandung sesuatu yang semestinya tidak terpampang di muka khalayak walaupun itu mungkin yang dirasa si empunya goresan.

"Dibikin orang Jawa", begitu kalimat itu terpahat dalam polisi tidur yang membentang di jalan kecil menuju mushalla. Suatu ketika saat bom baru saja meledak, polisi adat ala bali yang dikenal dengan pecalang mengadakan razia terhadap para pedagang keliling. Kembali miris rasanya hati ini, "Kamu Jangan ngebom ya!"bentaknya. KIsah yang hampir sama juga pasca bom, hampir pada sepanjang jalan yang biasanya saya dengan mudah temukan warung sari laut khas lamongan, namun kini semua berubah.
Semua warung sari laut itu berganti menjadi "warung sari laut surabaya" atau warung sari laut saja. What happen to Lamongan?. Jelas buat sebagian kalangan di Bali, kata lamongan bakal mengingatkan pada Am rozi, smiling bomber van lamongan.
TAdinya saya pikir itu strategi bisnis semata, namun setelah saya mencoba bertanya pada para pedagang itu hampir semua menjawab seragam : "Takut di cap teroris".
Saya mulai mengingat lagi lembaran sejarah bangsa ini, memang bangsa kita yang heterogen ini punya bakat-bakat perpecahan alias disintegrasi. Tengoklah potret ini: Di JAwa barat, hampir tidak ada jalan yang bernama Gajah Mada, khususnya di Bandung, kiblat budaya sunda. Hal yang sama juga saya dapati di Mojokerto, dimana seorang kawan saya pernah dilarang masuk Unpad oleh orang tuanya lantaran alasan :itu bukan tempat kita.
JIka mengingat masa silam, memang antara sunda dan Jawa punya hubungan masa lalu yang suram. Apalagi kalau bukan Perang Bubat, perang kontroversial yang sampai hari ini tak ada satu sumber pun yang dianggap valid.
Orang sunda bahkan hampir selamanya akan menganggap orang jawa itu pengecut, penipu dan tamak. Lantaran dianggap berusaha menaklukan kerajaan sunda dengan cara yang tak ksatria, menyerang rombongan pengantin Dyah PItaloka. Karenanya jika ada kenalan anda yang memegang tradisi sunda tulen, tanyakan padanya akan "Esti larangan ti Kaluaran". Sebuah karma sejarah lantaran politik masa lalu yang tak berujung pangkal.
Bagi orang Jawa, bubat memang tak begitu berdampak besar, setidaknya generasi sekarang sudah banyak yang melupakannya. Namun tetap saja, bagi sebagian orang di Mojokerto yang konon merupakan tempat dimana Majapahit berdiri, berkeluarga dengan orang sunda adalah sebuah pantangan.
Nah, itu baru konflik dua suku besar. belum lagi konflik-konflik lainnya yang bernuansa etnis dan kadang agama. Seolah bangsa kita ini sudah tak lagi sadar merah putih. tak lagi sadar bahwa mereka satu.
Karena memang bhineka tunggal ika itu cuma slogan, yang bahkan tak satupun pemerintahan yang pernah berdiri di republik ini mampu menerapkannya dengan baik. Jadilah kita terpecah-pecah, setidaknya dalam perasaan.
Inilah yang saya sebut separatisme emosional, dimana secara emosional disintegrasi itu justru ada dan jauh lebih berbahaya.Ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam hal yang sangat sempit dan kecil sekalipun. IA justru menjadi ancaman, karena dipendam.
Sesuatu yang dipendam biasanya jika mencapai kulminasi akan meledak dengan sontak. Lihat potret kalimantan yang tercabik. Itulah potret kecil pendaman amarah yang bernama separatisme emosional.
Parahnya lagi, sebuah hukum tak tertulis yang dipaksakan dianggap tak terbantahkan di dalam tata negara kita.PRESIDEN ORANG JAWA DAN WAPRES LUAR JAWA. Sebuah adagium yang sok historis. Karena menganggap dwi tunggal pertama yakni Soekarno Hatta adalah pakem dalam tampuk kekuasaan.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap, ada orang seperti Natsir yang dengan mosi integralnya mampu menyatukan Indonesia, namun lebih dari itu menyatukan perasaan bangsa Indonesia. karena separatisme emosional lebih berbahaya dari separatisme teritorial.