Perlahan bis itu meluncur menuju Surabaya, dengan harga tiket yang ditawar mati-matian, ia akhirnya berangkat juga. Dengan hanya menggenggam uang yang dia pinjam sebelumnya dari saya ia berangkat menuju dermaga harapannya. Harapan bernama keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagai orang awam yang boleh dikata “nggak ngeh” dengan kehidupan pergerakan, saya salut pada kawan saya ini.
Dia aktivis sebuah pergerakan yang sangat menjunjung nilai islam. Taat beribadah, dan dikenal sebagai orang yang lurus. Sore itu dia datang pada saya. Menceritakan apa yang sedang dihadapinya, sebagai awam ya saya mendengarkan saja kisah anak masjid ini.
Usianya yang menginjak dua puluh empat tahun ternyata membuatnya gusar, sampai kini ia masih sendiri. Padahal kawan sepergerakannya banyak yang sudah berumah tangga. Ia pun akan melangkah ke jenjang itu. Pada titik itu saya bersyukur, setidaknya dalam waktu dekat saya akan makan gratis lagi di kondangan, maklum sebagai anak kos, perbaikan gizi tentu perlu. Ia lalu berkisah tentang calon istrinya.
“Anda tahu siapa calon istri anda?”tanya saya. “Tahu, hanya dari foto dan selembar biodata. Tapi saya yakin”tuturnya. Sebagai kawan-walaupun tidak seorganisasi dan sepergerakan- saya lalu menyarankan kenapa tidak ketemu saja dulu, omong-omong dulu. Dia menjawab lugas, “itu yang akan saya lakukan, tapi saya sudah percaya pada orang ini”. Saya kembali bertanya “Kenapa kok segitu yakinnya?”. Ini yang membuat saya kagum, salut dan hormat padanya atas keputusan ini. Ia lalu menyitir ayat Al Quran surat An Nur ayat 26. “Laki laki baik untuk perempuan baik, begitu juga laki-laki buruk untuk perempuan buruk”tukasnya. Sempurna! Bisik saya dalam hati.
Saya jadi ingat kisah Pak Harto, presiden yang walaupun kontroversial tetap harus kita hormati, karena sedikit banyak, ia juga punya jasa buat negeri ini. Pak Harto menikah dengan Ibu Tien konon kisahnya lantaran sebuah foto. Bu Tin konon langsung setuju hanya dengan melihat potret seorang pak harto muda. Lepas dari segala kontroversi akan kehidupan keluarga mereka, kita disuguhi kisah cinta yang romantis. Dalam era 32 tahun kepemimpinannya nampak Soeharto sangat powerfull, kuncinya satu: soliditas keluarga yang digalangnya bersama Bu Tien. Sehingga cendana nampak selalu kokoh dan harmonis .
Lepas kisah pak harto saya jadi ingat orangtua saya sendiri. Ayah dan ibu saya juga dulu menikah tanpa pacaran selazimnya orang sekarang. Cuma lewat foto dan data di biro jodoh sebuah majalah, mereka ketemu, nikah, dan lahirlah saya dan adik saya. Sejauh ini juga nampak bahagia-bahagia saja.
Ingatan saya lalu terusik kalimatnya “Hanya saja, saya tidak punya cukup uang untuk pergi ke surabaya”tandasnya. Saya sangat mengerti kenapa ia sampai tak ada uang, wajar saja sebagai mahasiswa yang tengah kerja praktek dan semester akhir pasti banyak kebutuhan untuk kuliah. Saya, tanpa pikir panjang lalu memberinya sebuah amplop yang baru saya terima dari sebuah media sebagia honor tulisan. Ia lalu berterimakasih dan berjanji mengembalikannya. Saya bilang; bayar saja dengan menjadikan keluargamu sakinah.Saya mengantarnya menuju terminal Ubung, dan saya saksikan sampai ia benar-benar hilang di ujung tikungan.
Dalam hati terbersit rasa hormat luar biasa pada aktivis pergerakan ini. Betapa keyakinan terhadap Tuhan menjadi kunci baginya untuk membina keluarga. Saya yang bukan aktivis pergerakan apapun jadi miris melihat kondisi pergaulan anak-anak muda sekarang. Konon katanya buat anak muda sekarang sex itu biasa, konon juga gonta-ganti pasangan itu wajar. Bahasa kaum masjidnya : FULL MAKSIAT.
Sebagai orang yang biasa-biasa saja alias orang yang tidak punya cap anak masjid, saya juga sedikit banyak sudah diajari kawan saya ini, bahwa ternyata ada sebuah solusi dalam meluruskan semuanya. Solusi bernama pernikahan. Sebuah solusi dalam menjaga diri dari maksiat. Lebih dari itu kawan saya ini juga mengajari saya tentang teman hidup.
Walau bukan aktivis mesjid saya sangat yakin dengan Al Quran, karena saya orang islam. Namun baru kali ini Surat An Nur ayat 26 yang adalah ayat qouliyah alias ayat yang tertulis seolah nampak nyata atau ayat qouniyah di depan saya. Dengan keberanian yang menurut saya berisiko, ia tempuh juga jalan hidupnya menjemput jodoh yang dijanjikan Tuhannya. Keyakinannya bahwa jodohnya adalah cermin dirinya sendiri membuatnya berani menempuh jalan yang disebut Taaruf itu.
Saya melepas kepergiannya menjemput jodohnya. Kemudian handphone saya berdering sebuah sms dari kawan saya tadi. “Terimakasih sobat, saya tidak akan melupakanmu”. Saya membalasnya “Hati-hati, Percayalah Tuhan selalu memenuhi janjinya”.
Sebagai ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa yang kerap dicurhati mahasiswa dari berbagai kalangan dan background organisasi, baru kali ini ada sebuah penyaluran aspirasi yang tulus, yang jujur dan menggugah hati saya. Sebuah kisah keyakinan seorang anak muda menjemput harapan yang dijanjikan Tuhannya
Sebagai ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa yang kerap dicurhati mahasiswa dari berbagai kalangan dan background organisasi, baru kali ini ada sebuah penyaluran aspirasi yang tulus, yang jujur dan menggugah hati saya. Sebuah kisah keyakinan seorang anak muda menjemput harapan yang dijanjikan Tuhannya
