Kamis, 30 Oktober 2008

NASIONALISME; KEBANGSAAN DAN KEBENARAN


Kisah ramayana yang masyhur, mungkin sudah berulang kali dibahas, berulang kali dikaji dan semuanya punya perspektif masing-masing. Namun ada satu fragmen menarik dari penggalan kisah ini. Fragmen itu adalah fragmen dialog antara Wibisana dan Kumbakarna, sang Kakak saat sebelum dan sesudah pertempuran Sang Rama dan Kumbakarna.
“Aku tidak membela rahwana, namun yang kubela adalah alengka, tanah air kita”begitu lirih Kumbakarna pada sang adik, Wibisana. Musababnya jelas: Wibisana memihak Rama yang diyakininya sebagai kebenaran dan Kumbakarna memilih memerangi Rama, yang menyerang Alengka tanah airnya.
Wiracarita ramayana sendiri, merupakan kisah pertarungan rama melawan Rahwana yang menculik Sita, istri rama. Kisah ini sendiri walaupun mengetengahkan pertarungan Rama dan Rahwana, namun banyak fragmen yang justru punya nilai doktriner yang lebih dalam. Salah satunya adalah fragmen itu tadi, dialog Wibisana dan Kumbakarna.
Wibisana adalah salah satu adik Rahwana raja Alengka. Wibisana adalah saudara rahwana yang paling cerdas dan bijaksana. Selain Wibisana, Rahwana juga mempunyai adik lainnya yakni Kumbakarna dan Surpanaka. Kalau ketiga saudaranya berwujud raksasa, wibisana berwujud manusia. Karena kebijaksanaan dan keluasan ilmunya lah Rahwana mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan. Dalam wiracarita dikisahkan bagaimana Wibisana menasehati kakaknya yang sedang tergila-gila pada Sita atau Sinta, istri rama. Rahwana menampiknya, Ia tetap berupaya mendapatkan Sinta, akhirnya Sinta pun diculik.
Penculikan ini tentu membuat rama marah. Hanoman pun diutus untuk memata-matai Alengka. Sinta ternyata ditempatkan di istana milik Wibisana ditemani Trijata, putri kesayangan Wibisana. Hanoman pun menyampaikan pesan dari rama kalau Sinta akan segera dibebaskan. Wibisana lagi-lagi menasehati rahwana untuk mengembalikan Sinta pada Rama. Rahwana menolak, Wibisana pun memilih menyeberang ke pihak Rama.
Saudara Wibisana yang lain, Kumbakarna yang juga kecewa pada Rahwana memilih untuk tidur. Sedang Surpanaka tentu memilih bersama Sang Rahwana, menyerang Rama. Alkisah pertempuran terjadi. Setelah satu persatu Ksatria Alengka bertumbangan oleh pasukan Rama, Rahwana pun membangunkan Kumbakarna. Kumbakarna pun menolak membela rahwana. Karena ia tahu rahwana memang salah. Namun kumbakarna juga tak mau tanah airnya diserang Rama.
Antara Tanah Air dan Kebenaran
Kumbakarna pun maju bertempur, bukan demi Rahwana, namun demi Alengka tanah airnya. Sebuah potret nasionalisme yang heroik. Nasionalisme kumbakarna, adalah nasionalisme yang umum kita temui saat ini. Nasionalisme teritorialis yang menyekat pengertian “nasionalisme” sebagai semangat kebangsaan pada sekat-sekat wilayah. Sehingga doktrin bahwa right or wrong is my country tumbuh subur. Nasionalisme model ini, pada tataran ekstrim akan berubah menjadi chauvinistis, spirit membanggakan negeri sendiri. Tidak salah memang, namun tidak selamanya tepat.
Wibisana, yang memilih membela Rama.,merupakan potret nasionalisme universal. Nasionalisme yang dipatri lantaran kebenaran. Universalitas nasionalisme inilah yang sebenarnya punya makna yang dalam di dunia saat ini. Dimana dalam pergaulan internasional sekat kenegaraan menjadi bias dan cenderung dikesampingkan. Nasionalisme versi wibisana adalah cakupan nasionalisme yang lebih luas. Nasionalisme Wibisana bukan nasionalisme yang ditafsirkan sebagai semata-mata semangat kebangsaan, namun nasionalisme juga ditafsirkan sebagai semangat kebenaran.
Semangat kebenaran tentu jauh lebih bermakna dibanding semangat kebangsaan dalam arti sempit. Semangat kebangsaan dalam arti sempit yang cenderung mengarah jadi chauvinisme sangat berbahaya dalam percaturan internasional. Lihat bagaimana Jerman dengan doktrin Uber Allesnya. Ia memang mampu menguasai eropa pada perang dunia II, namun itu tidak lama. Dalam waktu singkat saat Hitler, sang rahwana, tumbang. Imperium Jerman pun bubar. Spirit nasionalisme yang dibangun semata diatas dasar kebangsaan pun lenyap sudah.
Seorang pemikir islam kontemporer, yang di Mesir dianggap sebagai tokoh yang berbahaya, Hasan Al Banna. Punya pemikiran nasionalisme yang juga universal. Hasan Al banna mengajukan premis universalitas nasionalisme yang didasari pada keislaman. Salah satu bukti nyata perjuangan AL Banna salah satunya adalah kemerdekaan negeri ini, Indonesia.
Al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya saat itu membentuk suatu komite untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Fragmen sejarah yang boleh jadi dilupakan oleh banyak rakyat Indonesia. Terbukti perjuangan itu sukses, pengakuan demi pengakuan mengalir dari dunia internasional.Posisi Indonesia pun makin kuat, bukan cuma lantaran Soekarno dan pejuang lain mati-matian berusaha, namun ada peran besar seorang pemikir bernama Al Banna disana.
Sayangnya, orang-orang seperti Wibisana yang ada dalam kisah ramayana, atau hasan al Banna yang sampai hari ini legendaris karena pemikirannya, makin sulit dicari di dunia sekarang ini. Dunia sekarang sedang perlu sebuah tafsir baru nasionalisme. Tafsir baru itu tentu akan mengakomodir pola hubungan antar bangsa yang dilandasi nilai kebenaran. Bukan semata nilai kebangsaan yang berkembang sekarang.
Nilai kebangsaan, acap kali berbuah menjadi penyulut perang antar negara. Tak kurang atas nama patriotisme, nasionalisme diartikan sebagai hak untuk menyerang bangsa lain yang dianggap melecehkan bangsanya. Penafsiran nasionalisme juga lebih sering diartikan sebagai hak untuk memajukan negeri sendiri tanpa peduli kepedihan dan krisis bangsa lainnya.Tafsir yang justru merubah dan merendahkan derajat nasionalisme menadi tidak humanistis.
Sudah semestinya nasionalisme tak lagi diartikan sebagai semangat kebangsaan. Namun mengacu pada fragmen kisah Wibisana dari Alengka dan ajaran Nasionalisme Hasan Al Banna. Nasionalisme harus diartikan sebagai sebuah semangat kebenaran.
Kang Wiman

Minggu, 19 Oktober 2008

KARENA SEMUA ADALAH MASA DEPAN

Satu ketika kawan saya, aktivis sebuah partai islam yang sedang naik daun berkata pada saya “Kami adalah masa depan” tuturnya. Kami disini jelas maksudnya adalah, partainya. Memang partai kawan saya ini sedang getol-getolnya berusaha memenangi pemilihan umum 2009. Sebagai kawan saya mengamini saja. Toh, urusan partainya menang atau tidak itu murni urusan dia meyakinkan konstituen, kalau meyakinkan saya:dia rugi. Karena saya sudah kadung apatis pada pemilu 2009.
Kawan saya yang aktif menjadi pengurus partai nasionalis yang dipimpin seorang Nyonya yang kharismatik punya premis beda. “Indonesia dibangun karena nasionalisme, dan kamilah kaum nasionalis itu” begitu kalimat kawan saya pada saya. Saya juga mengamini saja, karena toh juga saya memang paham sejarah bahwa setidaknya mereka memang pernah mewarnai negeri ini, dengan jargonisme “Wong Cilik”.
Kalau saya pikir-pikir, saya punya banyak sekali kawan yang kini aktif di berbagai partai. Ada yang di partai besar macam Demokrat,PKS, PDIP,Golkar, PKB bahkan di partai baru macam Hanura dan gerindra. Mereka semua punya cara masing-masing dalam meyakinkan saya, kawannya. Untuk sekedar memberi tanda pada logo partai mereka nanti, 9 April 2009. Setelah itu? Saya tidak tahu bagaimana. Karena konon biasanya politisi itu janjinya hanya manis sebelum pemilu dan berakhir pahit saat ia sudah duduk.
Partai politik, memang merupakan lahan strategis baru yang muncul sejak era reformasi bergulir. Partai politik adalah sebuah sarana mobilitas vertikal yang relatif cepat dan menguntungkan walaupun untuk itu biasanya banyak hal yang irasional yang mesti dilakukan. Tak heran gelombang OKB(orang kaya baru) atau OMB (orang miskin baru) mulai muncul sejak keran demokrasi itu dibuka.
Sejak reformasi, partai politik tumbuh luar biasa pesatnya. Tumbuhnya banyak partai ini juga mengakibatkan rakyat makin bingung. Bingung karena pada satu sisi nama partai tidak jauh berbeda, dan bingung karena pada sisi lain proyek partai pun kurang lebih sama. Jadilah istilah seperti yang digunakan kawan-kawan saya yang kini jadi aktivis parpol itu seperti “Kamilah masa depan” atau kami adalah perubahan dan sebangsanya, jadi lazim terdengar.
Pikiran saya; mengkonstruksi masa depan tentu adalah proyek besar bangsa indonesia, bukan proyek besar partai tertentu. Karena jelas, Indonesia adalah negara dimana yang hidup disini sangat heterogen. Heterogenitas Indonesia salah satu wujudnya adalah banyaknya partai politik itu tadi. Kalau memang jiwa bangsa kita punya jiwa yang integratif, mestinya partai Cuma ada beberapa, atau malah partai tunggal macam di negeri komunis.
Partai tunggal yang saya maksud disini tentu tidak sekedar mengcopy paste sistem komunis. Namun sebagai sebuah implementasi berbeda tapi satu. Gagasan partai tunggal sebenarnya hampir terwujud, dulu ketika fusi partai di era orde baru diberlakukan.hanya saja pemerintah waktu itu mungkin masih pikir-pikir. Karena waktu itu ada tiga kekuatan besar yang sampai hari ini masih terus bergulat di panggung politik kita. Islam, nasionalis, dan sebelum ditumpas, komunis. Setelah komunis dibasmi, maka hanya tinggal dua kekuatan yang ada nasionalis dan islam. Tentu amat riskan menjadikan duel vis a vis antara keduanya. Muncullah Golongan Karya, sebuah partai yang konon bukan partai tapi golongan.
Era orde baru secara jujur mesti kita akui sebagai orde yang paling menjanjikan kalau bicara masa depan. Paling tidak, masa depan itu diprogram dengan program sakti “Pembangunan Lima Tahun” sebagai sebuah fragmen narasi besar kepemimpinan Bapak kita daripada soeharto, Pembangunan. Tak kurang visi dan misi sudah disusun dengan sangat cermat, dari era agraris, industrialisasi sampai era tinggal landas, sebuah era dimana bangsa kita diprogram sudah mampu bersaing dengan bangsa lain. Orde baru bubar, impian pun buyar.
Praktis sejak reformasi bangsa kita ini tidak punya mimpi yang realistis dan cenderung dicapai secara sistematis. Lihat saja pemerintahan yang jatuh bangun dan silih berganti nyaris tak punya mimpi besar yang bisa ditawarkan. Soekarno menawari kita revolusi, soeharto menawari kita pembangunan. Namun para penggantinya nyaris tak punya narasi kepemimpinan dan impian yang bisa ditanamkan dalam benak rakyat. Partai yang muncul sekarang pun mulai coba menawarkan mimpi, namun nyaris semua:KHAYALAN.
Kenapa khayalan?karena mimpi dalam narasi yang mereka buat hanya narasi untuk mereka sendiri, bukan narasi yang compatible dengan kondisi rakyat.bahkan antar partai pun, narasi masa depan mereka justru malah berpotensi disintegraif. Anda bayangkan saja partai di Indonesia umumnya punya ideologi yang berbeda. Dan jualan mereka dari masa kemasa selalu perbenturan ideologi. Nasionalis yang dipersepsikan sekuler selalu terdikotomi dengan kalangan islam yang selalu dicurigai ingin mendirikan negara islam. Sungguh perdebatan dan pertentangan sia-sia karena sampai hari ini, saat bangsa kita sudah lebih dari separuh abad merdeka, perdebatan ini belum lagi usai. Hasilnya bangsa kita justru makin terpuruk, Cuma lantaran soalan curiga dan prasangka
Pemilu 2009 akan segera tiba, semua partai yang jumlahnya tidak pasti karena setiap partai yang dicoret KPU selalu menang di PTUN, mereka semua juga bangsa Indonesia-yang punya hak ikut pesta. Pesta demokrasi itu akan dimulai. Narasi masa depan dan masa lalu kita juga akan ditulis ulang. Pastinya oleh partai yang menang. Kawanku..........baik yang PDIP,PKS,Golkar atau apapun warna jaket dan ideologi kalian...... Bangsa ini milik kita semua, maka narasi besar adalah tanggungjawab kita semua.Jangan karena anda berkuasa lantas anda merasa berhak memaksakan narasi yang anda buat.
Yang benar itu masih banyak dan yang banyak belum tentu benar.............